Jakarta – Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono menjamin jumlah tempat tidur di rumah sakit (RS) tidak akan berkurang setelah  sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) diterapkan bagi peserta BPJS Kesehatan.

Dante menyatakan hal ini saat rapat kerja bersama Dirut BPJS Kesehatan, Kemenkes, dan Komisi IX DPR, Kamis, 6 Juni 2024.

 

Menurut Dante Pemerintah telah melakukan sejumlah pembaruan menyangkut  kesiapan RS Nasional dalam implementasi KRIS hingga 20 Mei 2024. “Jadi implementasi KRIS ini akan dilakukan dan memberikan kekhawatiran akan kehilangan jumlah tempat tidur ini tidak akan terjadi,” kata  dia

 

Wakil Menteri ini memperkirakan  609 rumah sakit yang tidak mengalami kekurangan tempat tidur saat KRIS diterapkan. Kemudian, rumah sakit yang mengalami kekurangan tempat tidur sebanyak 292 RS. Ada pun yang lain menurut dia hanya sedikit, sekitar satu atau dua tempat tidur.

 

Berdasar  survei, lanjut Dante,  sebanyak 2.316 rumah sakit atau 79,05 persen sudah memenuhi 12 kriteria KRIS. Kemudian, sebanyak 363 RS sudah memenuhi 11 kriteria, sebanyak 43 rumah sakit memenuhi 10 kriteria, 272  memenuhi 9 kriteria, dan 63 rumah sakit belum memenuhi kriteria KRIS. []

 

POST TAGS:

BERITA mengenaskan muncul di media sosial. Seorang pria mati saat mengurus KTP di Dinas Catatan Sipil untuk mengurus BPJS agar bisa mendapat pelayanan dari Rumah Sakit. Rumah Sakit menolak menerima pria ini  karena tidak memiliki BPJS dan KTP. Maka dalam kondisi sakit ia ke kantor Dinas Catatan Sipil. Berharap dengan KTP, ia bisa mendapat kartu BPJS.

 

Kementerian Kesehatan harus turun tangan, menyelidiki dan mengungkap kasus ini.

 

Rumah Sakit kehilangan nurani untuk hal demikian. Siapa pun yang memutuskan bahwa pasien itu ditampik karena tak memiliki BPJS, ia harus bertanggung jawab atas kematian pria tersebut. Dalam keadaaan sekarat, yang untuk ini medis bisa mendeteksinya, seharusnya pria itu dirawat, diterima sebagai pasien.

 

Birokratis telah membuat rumah sakit yang menolak pria itu menjadi malaikat pencabut nyawa. Lembaga yang semestinya menyelamatkan manusia, berubah menjadi algojo pencabut nyawa. Dalam kondisi demikian, orang kecil, rakyat miskin akan tersingkir.  Sesuatu yang menyakitkan untuk mereka yang berakal sehat.

 

Kasus semacam ini tidak bisa dibiarkan. Kementerian Kesehatan harus turun tangan, menyelidiki dan mengungkap kasus ini. Hak sehat adalah hak rakyat. Pemerintah Daerah harus menjatuhkan sanksi kepada rumah sakit yang sewenang-wenang ini. Rumah sakit semacam ini tidak layak untuk disebut “rumah sakit” dalam arti sebagai lembaga penolong orang sakit. Ia adalah lembaga pembunuh orang sakit. (fokussehatnews

POST TAGS:

Jakarta –  Capaian Indonesia menuju Universal Health Coverage (UHC) melalui Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), menjadi salah satu best practice negara-negara dunia khususnya di Asia. Dalam Kongres International Health Economic Association (IHEA) ke-15, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti memaparkan bagaimana komitmen negara ini dalam upaya memberikan perlindungan dan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi warganya. Sampai dengan 1 Juli 2023 jumlah peserta JKN mencapai 258,9 juta jiwa atau 93,81% dari total jumlah penduduk Indonesia.

 

“Menjelang 10 tahun pelaksanaan, komitmen politik yang kuat pemerintah untuk mencapai UHC terus dijaga. Kurun waktu 10 tahun ini BPJS Kesehatan telah melalui berbagai proses hingga akhirnya kini terbentuk ekosistem JKN yang matang. Program JKN bisa dikatakan salah satu perwujudan gotong royong besar yang amat terasa di negara Indonesia, karena sistem pembiayaan kesehatan dilakukan melalui satu skema yang terintegrasi, ” ujar Ghufron, dalam sesi di Pusat Konvensi Internasional Cape Town, Afrika Selatan, Minggu (09/07).

 

Ghufron mengungkapkan, Program JKN  menjadi contoh negara lain karena memiliki kepesertaan terbanyak dan pencapaian UHC tercepat di dunia untuk satu skema yang terintegrasi. Meski diawal pelaksanaan terdapat tantangan dalam hal kemampuan pembiayaan program, BPJS Kesehatan mampu untuk beradaptasi dengan berbagai perubahan kebijakan serta melahirkan berbagai inovasi dan peningkatan layanan untuk meningkatkan kesinambungan Program JKN. Sebagai contoh, BPJS Kesehatan baru-baru ini merilis fitur i-Care dalam aplikasi Mobile JKN. Fitur ini memberikan kemudahan akses kepada fasilitas kesehatan untuk melihat riwayat pelayanan kesehatan peserta JKN selama satu tahun terakhir. Dengan adanya akses terhadap riwayat pelayanan sebelumnya, dokter dapat memberikan layanan yang lebih cepat dan tepat kepada peserta JKN.

 

“Selain itu, walapun saat ini, pemanfaatan program sudah terjadi peningkatan atau rebound setelah pandemi Covid-19, secara finansial program ini masih dalam kondisi keuangan yang sehat. Tidak ada lagi utang ke rumah sakit bahkan BPJS Kesehatan memberikan uang muka layanan untuk menjaga cashflow rumah sakit dan baru baru ini juga telah ditetapkan penyesuaian dan peningkatan tarif layanan kesehatan,” papar Ghufron.

 

Untuk mencapai UHC yang berkualitas, BPJS Kesehatan juga tengah melakukan transformasi mutu layanan karena sebagai badan layanan publik, dituntut untuk selalu meningkatkan kualitas layanan. BPJS Kesehatan memulainya dengan melakukan transformasi struktural dan kultural. Selain itu, BPJS Kesehatan juga akan mendorong adanya penyesuaian kebijakan Program JKN atau revisi Peraturan Presiden terkait Jaminan Kesehatan Nasional dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan dan pembiayaan kesehatan bagi peserta JKN, misalnya peningkatan pembiayaan kesehatan di pedesaan.

 

Dalam kesempatan tersebut, Ghufron juga memaparkan salah satu tantangan dalam mencapai UHC adalah merekrut sektor pekerja informal yang relatif sehat, berpenghasilan tidak pasti, namun memiliki hambatan akses ke fasilitas pelayanan kesehatan. Berbagai strategi dan program secara khusus didedikasikan untuk membantu perekrutan segmen kepesertaan ini. Mulai dari melalukan advokasi kepada pemerintah daerah kapasitas fiskal yang tinggi untuk menjamin warga yang belum terdaftar dan melaksanakan program memetakan, menyisir, mengadovokasi hingga mendaftarkan/registrasi (PESIAR) peserta bekerjama dengan perangkat desa.

 

Kongres IHEA yang diadakan setiap dua tahun sekali, adalah satu-satunya forum global bagi para ekonom kesehatan untuk mendiskusikan perkembangan metodologi terbaru, mempresentasikan temuan penelitian terbaru dan mengeksplorasi implikasi penelitian ini terhadap kebijakan dan praktik kesehatan. Kongres IHEA ini juga menampilkan berbagai presentasi di seluruh spektrum bidang ekonomi kesehatan. Dalam kongres tersebut, hadir sejumlah pakar dan pemerhati pembiayaan kesehatan dari universitas dan institusi dunia.

 

Dalam Kongres IHEA kali ini, BPJS Kesehatan juga akan mempresentasikan abstrak yang berhasil terpilih dari ribuan abstrak yang ditulis terkait penelitian bidang pembiayaan kesehatan seluruh dunia. Abstrak yang akan dipresentasikan oleh Direktur Perencanaan Pengembangan BPJS Kesehatan, Mahlil Ruby,  berjudul The Effect of Chronic Disease Management Programme on Diabetic Mellitus Complication: Cluster-Controlled Intervention in Indonesia Health Insurance, ditulis oleh Duta BPJS Kesehatan Suciati Megawardani dan Gregorius Virgianto Apuji Anggoro Putro. [BPJS]

 

 

POST TAGS:

RENCANA Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin membentuk kelas khusus BPJS Kesehatan bagi ekonomi menengah ke atas semakin menegaskan terjadi kekeliruan model bisnis asuransi kesehatan tersebut. Kondisi yang menimbulkan banyak masalah : mulai dari tidak optimalnya layanan ke masyarakat sampai berdarah-darahnya keuangan BPJS Kesehatan.

 

Budi Gunadi mengatakan pendirian BPJS orang kaya itu mendesak karena selama ini, orang kaya berobat menggunakan BPJS Kesehatan dengan mengambil manfaat dari peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan atau PBI, hingga akhirnya membebani negara. Sebaiknya, orang kaya juga memiliki asuransi swasta untuk membiayai perawatan kesehatannya. Kelas pada BPJS Kesehatan yang mengatur kelas 1,2,3 ternyata justru menciptakan ketidakadilan bagi masyarakat dalam mendapatkan layanan kesehatan.

 

Sudah sejak awal model bisnis BPJS “sama rata, sama rasa” ini menuai kritik. Penyebabnya, orang kaya dengan membayar iuran premi yang tidak seberapa, bisa memanfaatkan fasilitas BPJS Kesehatan untuk membayar mengobati penyakitnya yang membutuhkan biaya mahal. Selama ini, pengeluaran terbesar BPJS Kesehatan yang ditanggung dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), untuk menutup biaya penyakit katastropik antara lain jantung, gagal ginjal, kanker, stroke, sirosis hati, thalassemia, leukemia, dan homofilia. Penyakit katastropik biasanya membutuhkan perawatan medis yang lama dan berbiaya tinggi.

 

Kendati sudah mendapat penolakan dari pelbagai kalangan atas ide tersebut, Menteri Budi tidak boleh mundur. Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang dijadikan argumentasi juga tidak bisa otomatis menjadi basis penolakan ide tersebut. Undang-undang itu hanya mengatur tatanan umum, soal BPJS Kesehatan merupakan hak setiap warga negara yang menjadi peserta. Tetapi mereka abai, untuk mengatur kelangsungan hidup BPJS Kesehatan.

 

Selama ini, pemerintah menggunakan sistem single pool dalam kepesertaan BPJS. Seluruh peserta dianggap dalam satu kantong yang sama. Tujuannya untuk memudahkan. Semua iuran itu dimasukkan dalam satu kantong yang sama, sehingga pemanfaatannya bisa digunakan beramai-ramai tanpa memandang golongan. Ini berbeda dengan kebijakan di Thailand yang menerapkan muiltiple pools. Sistem ini menerapkan pembagian kelompok berdasarkan profesi dan pendapatan rakyat. Uang yang dikumpulkan pun dimasukkan dalam kantong yang terpisah, berikut penggunaannya. Kelompok pekerja, akan dibiayai kesehatannya dari iuran yang ada di kantong itu dan tidak mengambil dari kelompok lain.

 

Konsekuensi single pool yang diterapkan di Indonesia ini tidak bisa memisahkan yang kaya dan miskin. Semua peserta, entah dia kaya atau miskin berhak memanfaatkan BPJS. Hal ini tidak salah selama akses pemanfaatannya tercapai dan semua orang mendapatkan kesempatan yang sama. Yang jadi masalah, selama ini pemerataan akses dan kesempatan sangat timpang.

 

Di awal pelayanan JKN, kelompok PBI amat minim memanfaatkan layanan JKN bersubsidi. Kelompok mandiri dengan peserta kebanyakan golongan menengah ke atas justru lebih banyak frekuensi pemanfaatannya. Masyarakat di perkotaan dengan banyaknya rumah sakit dan layanan kesehatan lainnya memungkinkan kelompok mandiri lebih sering menggunakan layanan BPJS ketimbang kelompok PBI. Kekurangan biaya dari kelompok mandiri ini pun mengambil dari pos PBI.

 

Sesuai amanat Undang-Undang, setiap warga negara berhak mendapatkan layanan kesehatan yang sama. Pemerintah tak perlu ragu untuk menaikkan iuran kelas mandiri yang hanya berjumlah 30 juta orang itu agar dana yang dikumpulkan cukup untuk membiayai perawatan kesehatan mereka. Sebaliknya, pemerintah juga mendorong agar kelompok PBI yang berjumlah 180 juta itu tak ragu untuk mengakses layanan JKN agar prinsip keadilan benar-benar bisa dirasakan untuk semua rakyat. (Editorial Tempo.co https://kolom.tempo.co/read/1661800/momentum-menata-ulang-model-bisnis-bpjs-kesehatan)

POST TAGS:

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kini memiliki direktur utama baru: Ali Ghufron Mukti. Lewat Keputusan Presiden Nomor 37/P tahun 2021, Ali akan mengendalikan BPJS hingga 2026. Ia didampingi tujuh direktur lain. Ali pernah menjabat Wakil Menteri Kesehatan di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kita ucapkan “selamat datang” dan “bertugas” Ali Ghufron Mukti. Tantangan besar ada di hadapannya: membawa “kapal BPJS” menjalankan misi yang telah ditetapkan Undang-Undang tentang Kesehatan. Tugas mulia yang maha berat.

BPJS memiliki sejumlah persoalan yang tak terselesaikan di bawah kepemimpinan Fachmi Idris. Kendati di akhir masa jabatannya Fachmi mengklaim BPJS tidak lagi defisit, tapi publik tahu itu, antara lain, disebabkan faktor pandemi Corona -hal yang membuat “pemegang” kartu BPJS merosot tajam menggunakan haknya untuk berobat.

Sebagai lembaga yang ditunjuk negara untuk “meringankan” beban biaya pengobatan masyarakat, BPJS juga belum sepenuhnya berhasil untuk bekerja sama dengan rumah sakit agar problem-problem pelayanan anggota BPJS di rumah sakit bisa memuaskan -atau sedikit memuaskan- anggotanya.

Kita, misalnya, bisa melihat bagaimana banyaknya pasien BPJS yang mengantre sejak subuh hanya untuk bisa mendapatkan nomor lebih cepat –sementara ketika tiba masa berobat- mereka juga harus menunggu berjam-jam karena dokter yang dituju belum muncul-muncul. Kesan “penganak tirian” -karena berstatus “pasien BPJS” tak terhindarkan, tak peduli apakan mereka pemegang kartu BPJS klas II atau klas I sekali pun. Ironis.

Pada tingkat pengobatan -dengan penyakit katastropik- yang memakan besar anggaran BPJS, muncul suara-suara yang “mencurigai” BPJS sengaja tidak mengeluarkan izin sejumlah rumah sakit yang memiliki cath lab menerima pasien BPJS demi menekan anggaran. Padahal rumah sakit tersebut telah memenuhi syarat dan secara historis merupakan rumah sakit rujukan masyarakat sejak dulu seperti RS Jaury Makassar atau bahkan rumah sakit milik pemerintah seperti RS Cibinong, Kabupaten Bogor. Direktur baru BPJS mesti menyelesaikan ini semua –demi masyarakat.

Salah satu kelemahan kepengurusan BPJS periode lalu adalah gagalnya melakukan komunikasi dengan publik –juga media. Terkesan semua kritik yang muncul ke BPJS ditanggapi secara reaktif oleh pengurus BPJS yang cenderung menyalahkan situasi. Dan ini terlihat bagaimana tanggapan-tanggapan atas hal paling sering mengemuka: perihal defisit BPJS. Tim komunikasi atau biro komunikasi (humas) BPJS gagal mencitrakan lembaga ini sebagai lembaga yang “terbuka” terhadap kritik dan “tanggap dan cepat” dalam menerima keluhan publik atau kritik media. Dalam era komunikasi digital sekarang ini memang diperlukan tim komunikasi andal yang bisa menjaga citra lembaga sekaligus memenuhi hak publik –dan media- untuk bertanya.

PR dan tugas besar memang ada di depan Dirut BPJS Ali Ghufron Mukti. Tapi, dengan pengalamannya di dunia kesehatan, kita harap ia dengan cepat membereskan persoalan-persolan di atas. []

 

Jakarta – Susunan daftar direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial(BPJS) Kesehatan yang dipilih Panitia Seleksi dinilai menunjukkan adanya harapan karena para kandidat memiliki latar belakang yang berbeda-beda dan banyaknya pejabat deputi yang ‘naik tingkat’.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai bahwa daftar nama yang disampaikan Panitia Seleksi Calon Direksi BPJS Kesehatan kepada presiden memiliki komposisi yang menarik. Salah satu yang menjadi perhatian Timboel adalah latar belakang para kandidat, selain kredibilitasnya yang telah teruji.
Menurut Timboel, banyaknya pejabat di tingkat deputi yang lolos ke tahap final menunjukkan adanya kesempatan yang terbuka bagi seluruh lapisan untuk memimpin BPJS Kesehatan. Kompetisi terbuka itu dinilai dapat menjadi modal yang kuat untuk perbaikan ekosistem Jaminan Kesehatan Nasional. “Di seleksi BPJS Kesehatan ini ada beberapa deputi naik, dari wilayah, ini menjadi preseden yang baik,” ujar Timboel.
Terdapat lima orang pejabat setingkat deputi direksi yang lolos sebagai kandidat direksi BPJS Kesehatan. Mereka bersaing dengan eksekutif-eksekutif lainnya, termasuk dua orang direktur di tubuh badan pelaksana program JKN itu.

Kelima orang tersebut yakni Deputi Direksi Bidang Manajemen Data dan Informasi BPJS Kesehatan Andi Afdal, Deputi Direksi Bidang Treasury dan Investasi BPJS Kesehatan Arief Witjaksono Juwono Putro, serta Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Primer BPJS Kesehatan Ari Dwi Aryani.
Lalu, terdapat Deputi Direksi BPJS Kesehatan Wilayah Riau, Kepulauan Riau, Sumatra Barat dan Jambi Eddy Sulistijanto; serta Deputi Direksi BPJS Kesehatan Kedeputian Wilayah Jawa Barat Fachrurrazi.

Adapun, pejabat setingkat direksi yang bersaing dalam seleksi calon direksi BPJS Kesehatan periode 2021–2026 adalah Direktur Perencanaan, Pengembangan dan Manajemen Resiko BPJS Kesehatan Mundiharmo. Satu orang lainnya berasal dari instansi sedarah, yakni Direktur Keuangan BPJS Ketenagakerjaan Evi Afiatin.
Menurut Timboel, jajaran direksi terpilih harus mampu menyelesaikan masalah-masalah klasik dari penyelenggaraan JKN. Beberapa hal yang selalu menjadi sorotan yakni tingkat kepesertaan, data kepesertaan, pelayanan di fasilitas kesehatan, hingga penyempurnaan ekosistem secara holistik. “Direksi ke depan harus bisa belajar dari persoalan tujuh tahun ke belakang. Tahun ini paling tidak persoalan bisa selesai, ke depannya bisa lebih baik lagi,” ujar Timboel. (bisnis.com)

POST TAGS: