Ketua Koorinasi Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menanggapi proses seleksi direksi dan dewan pengawas BPJS Kesehatan. Ia menilai, pemilihan pimpinan BPJS yang baru nanti harus yang benar-benar visioner dan inovatif.

“Kalau menurut saya memang harus ada pemilihan direksi yang benar-benar visioner dan inovatif. Kalau menjalankan hanya seperti yang sekarang ini, hanya administrasi, itu susah,” kata Timboel.

Timboel mengatakan direksi harus bisa menjelaskan terjadi penurunan 40 persen kunjungan ke rumah  sakit, ini lantaran orang-orang takut dengan  pandemi Covid-19. Untuk mengatasinya diperlukan inovasi seperti telemedicine.

“Artinya apa? Kalau swasta kita bayar sendiri berapa itu Halodoc? Kan artinya ada konsultasi, obatnya dikirim, kan artinya bisa. Nah sekarang kenapa tidak dilakukan? Artinya kita butuh sebuah inovasi dari pelayanan yang terkait dengan masa pandemi,” ucapnya.

Invoasi tersebut, kata Timboel, perlu dilakukan untuk memudahkan masyarakat yang takut ke rumah sakit. Dengan demikian, orang-orang yang mempunyai sakit kronis bisa terkontrol tanpa perlu ke rumah sakit di tengah pandemi Covid-19.

“Sekarang gimana kalau JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) dengan Halodoc? ya ada inasibijis (sebuah aplikasi yang digunakan rumah sakit untuk mengajukan klaim pada pemerintah)  untuk konsultasi secara telepon,” ucap Timboel.

Menurutnya, pemerintah bisa membuat Permenkes dengan mengacu dengan inasibijis yang dibuat direksi rumah sakit. Dengan begitu, orang-orang yang sakit kronis tidak perlu ke rumah sakit tapi tetap konsultasi dengan dokter, dan obatnya dikirimin.

“Mereka yang takut ke rumah sakit karena pandemi t bisa dijembatani dengan telemedicine, sehingga penyakitnya bisa terkontrol. Kalau 40 persen orang takut ke rumah sakit, belum tentu penyakitnya sembuh, malan bukan semakin kronis,” ujar Timboel.

Jadi menurutnya, direksi terpilih  memang harus benar-benar bisa menjawab persoalan-persoalan yang ada saat ini dan menjawab tantangan-tantangan kedepan. Ini akan menjadi modal bagi kemajuan JKN.

“Tidak perlu menurut saya, direktur utama seorang dokter, yang penting ia  punya background manajerial yang tinggi, profesionalnya bagus dibandingkan hanya sekadar dokter,” tutur Timboel.

Timboel menjelaskan, pansel BPJS Kesehatan harus mencari orang-orang yang bisa membenahi perusahaan yang mau bangkrut menjadi hidup kembali, berkembang, dan maju. Selain itu, perlu juga mencari orang-orang yang membuat pelayanan berkualitas.

“Pansel harus bisa memilih direksi BPJS yang bisa menekan tunggakan yang mencapai Rp 14 triliun per bulan. Harus ada profesional yang secara manajerial bisa mengatasi masalah-masalah seperti ini,” kata Timboel.

Sebagai informasi, pemerintah tengah menyeleksi pimpinan baru BPJS Kesehatan. Tercatat, sekitar 180 pendaftar lolos seleksi administrasi. Salah satunya, Achmad Yurianto yang sebelumnya juru bicara Covid-19.

 

Penyakit Jantung

 

Timboel Siregar menilai BPJS Kesehatan harus lebih berkreasi dalam mendistribusikan pasien jantung yang menumpuk dan mengantre di rumah sakit tertentu. Ini bertujuan agar pasien bisa segera ditangani atau diobati.

“Iya ini yang menjadi titik kritik kita bahwa sebenarnya rumah  sakit banyak yang tahu dan bisa mengatasi, tapi rumah sakit kesannya mau menahan supaya biaya masuk semua ke dia, padahal penanganan operasi jantung harus cepat,” kata Timboel saat dihubungi Tagar, Jumat, 6 November 2020.

Terlebih, kata Timboel, dalam menangani pasien-pasien yang relatif harus mendapatkan penanganan cepat seperti penyakit katastropik. Menurutnya, BPJS Kesehatan dan unit pengaduan harus lebih kreatif dalam menangani pasien agar cepat teratasi.

“BPJS Kesehatan harus mendistribusikan pasien supaya tidak waiting list terlalu lama,” ucapnya.

Dia menjelaskan, jangan sampai membiarkan rumah sakit menjadikan pasien penyakit jantung sebagai lahan bisnis. Misalnya, rumah sakit menahan pasien untuk mendapatkan pengganti klaim.

“Rumah sakit membuat pasien  semakin tidak pasti, dan bertarung dengan nyawa kan gitu,” ujar Timboel.

Saat ini, kata Timboel, rumah sakit yang bisa menangani pasien katastropik termasuk jantung sudah banyak. Tinggal bagaimana cara mengorganisasi pasien dengan benar dan tepat.

“Rumah sakit tipe A dan tipe B sudah bisa jantung sekarang. Tinggal bagaimana mengorganisir, bagaimana mendistribusikan pasien-pasien, kalau dilihat sampai 50 orang tidak mungkin, BPJS harus kreatif,” tuturnya.

Selama ini, kata dia, fungsi distribusi oleh BPJS Kesehatan tidak pernah dilakukan. Dengan begitu, pasien dari segala jenis penyakit terlalu lama menunggu dan dibiarkan masuk waiting list. “Sebenarnya gak boleh, dia punya data,” kata Timboel. (sumber: Tagar.id)

Sebagus apa pun alasan yang dikemukakan pemerintah, terkait kenaikan Iuran BPJS di tengah pandemi covid-19, tetap saja sulit diterima akal sehat.

Di saat masyarakat kebanyakan sedang megap-megap secara ekonomi, akbat dampak mewabahnya covid-19, kini kembali dihadapkan oleh beban hidup yang lainnya, yakni kenaikan iuran BPJS.

Adakah sekian banyak petinggi negara ini yang memikirkan dampak kebijakan tersebut, terhadap nasib sebagian besar masyarakat?

Landasan dan tujuan negara ini hadir adalah untuk mensejahterakan masyarakat, kalau pun masyarakat belum tersejahterakan, paling tidak jangan ditambah beban penderitaannya.

Itu sebuah bentuk kompromi, antara pemerintah dan masyarakat secara tidak tertulis. Apa lagi di tengah pandemi covid-19 sekarang ini, berpikir untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah sulit.

Tidak menafikan adanya bantuan sosial baik dari pemerintah pusat, atau pun pemerintah daerah, tapi pada kenyataannya, bantuan sosial tersebut tidaklah menjangkau masyarakat yang membutuhkan secara keseluruhan.

Dilapangan banyak bantuan yang tidak tepat sasaran, dan rawan penyelewengan. Tidak semua termonitor dengan baik, yang terlihat hanyalah seremonial para pemangku kebijakan.

Kebijakan menaikkan iuran BPJS bukan saja tidak populis, tapi juga hanya memikirkan satu arah, demi keberlangsungan BPJS, namun tidak memikirkan keberlangsungan hidup rakyat sebagai pengguna BPJS.

Bukan sebuah kesalahan menaikkan iuran BPJS, hanya saja momentumnya yang kurang tepat. Kalau saja kebijakan tersebut diambil setelah pandemi covid-19 berakhir, mungkin masyarakat tidak terlalu terbebani.

Sangat kontradiktif langkah yang diambil pemerintah. Jaringan pengaman sosial yang tujuannya agar tidak terjadi gejolak sosial didalam masyarakat, namun disisi lain pengaman  sosial sendiri belum mengamankan, tapi masyarakat sudah dihadapkan persoalan baru yang juga memberatkan.

Landasan dan tujuan negara ini hadir adalah untuk mensejahterakan masyarakat, kalau pun masyarakat belum tersejahterakan, paling tidak jangan ditambah beban penderitaannya.

Itu sebuah bentuk kompromi, antara pemerintah dan masyarakat secara tidak tertulis. Apa lagi di tengah pandemi covid-19 sekarang ini, berpikir untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah sulit.

Tidak menafikan adanya bantuan sosial baik dari pemerintah pusat, atau pun pemerintah daerah, tapi pada kenyataannya, bantuan sosial tersebut tidaklah menjangkau masyarakat yang membutuhkan secara keseluruhan.

Dilapangan banyak bantuan yang tidak tepat sasaran, dan rawan penyelewengan. Tidak semua termonitor dengan baik, yang terlihat hanyalah seremonial para pemangku kebijakan.

Kebijakan menaikkan iuran BPJS bukan saja tidak populis, tapi juga hanya memikirkan satu arah, demi keberlangsungan BPJS, namun tidak memikirkan keberlangsungan hidup rakyat sebagai pengguna BPJS.

Bukan sebuah kesalahan menaikkan iuran BPJS, hanya saja momentumnya yang kurang tepat. Kalau saja kebijakan tersebut diambil setelah pandemi covid-19 berakhir, mungkin masyarakat tidak terlalu terbebani.

Sangat kontradiktif langkah yang diambil pemerintah. Jaringan pengaman sosial yang tujuannya agar tidak terjadi gejolak sosial didalam masyarakat, namun disisi lain pengaman  sosial sendiri belum mengamankan, tapi masyarakat sudah dihadapkan persoalan baru yang juga memberatkan.

 

Kalau pada akhirnya benar-benar terjadi gejolak sosial di tengah masyarakat, hanya karena tidak adanya sense of crisis dari pemerintah, sungguh hal ini sangat disesalkan. Atau jangan-jangan ini sudah menjadi takdir dari usia pemerintahan Jokowi?

oleh berbagai aturan yang tumpang tindih, disaat yang sama masyarakat dihadapkan oleh berbagai beban hidup dan ekonomi yang tidak mampu dipenuhi pemerintah.

Perlunya banyak kepala dalam penyelenggaraan negara, agar penerintahan mampu berpikir untuk mensejahterakan rakyatnya. Rakyat sadar kalau pemerintah perlu dukungan moril dalam menyelenggarakan negara.

Sebaliknya rakyat juga butuh pemerintah untuk mensejahterakan hidupnya. Sinergisitas antara masyarakat dan pemerintah hanya bisa berjalan kalau terjadi simbiosis mutualism, saling membutuhkan dan saling peduli.

Kalau setiap kebijakan pemerintah hanya berpihak Kepada pemilik modal, maka kepentingan rakyat pasti akan terabaikan. Padahal orientasi berdirinya negara ini berlandaskan tujuan mensejahterakan kehidupan masyarakat.

Kenaikan iuran BPJS sebelumnya sudah dibatalkan MA, namun sontak tiba-tiba di tengah pandemi covid-19, pemerintah kembali menaikkan kembali iuran BPJS lewat Perpres Nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Perpres itu diteken Jokowi pada 5 Mei 2020. Kenaikan iuran ini berlaku bagi peserta mandiri Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP).

Jelas kebijakan ini akan sangat memberatkan masyarakat di tengah pandemi covid-19. Satu beban belum bisa diatasi, sementara beban lain sudah diberikan lagi oleh pemerintah.

Apa pun alasan pemerintah menaikkan iuran BPJS, di tengah pandemi covid-19, bukanlah sebuah kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat. (Aji Najiullah Thaib, Sumber: publika.co,id, 14 Mei 2020)

Hak untuk sehat adalah hak asasi manusia yang selain disebut dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, juga termaktub dalam UUD 1945. Hak untuk vaksinasi adalah bagian dari Hak Hidup dan Hak Kesehatan. Pasal 28H ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Ketentuan UUD ini diperkuat Undang-undang No 26 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 5 ayat 1 tertulis, setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan. Pasal 14 ayat 1 UU Kesehatan menyebut tanggung jawab pemerintah untuk mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.

Dalam hal vaksinasi ini, bukan hanya hak seorang pribadi yang dilindungi, tapi juga hak orang lain yang mungkin karena kondisi tertentu seperti mengidap penyakit autoimun tidak bisa melakukan vaksinasi. Vaksinasi bukan hanya sekadar hak pribadi tapi juga hak kolektif masyarakat di mana kerumunan yang mendapatkan vaksinasi akan melindungi sebagian kecil yang tidak divaksinasi.

Namun, pembagian program vaksinasi berdasarkan gratis dan mandiri (maksudnya berbayar) akan menjadi hambatan bagi upaya memperluas akses vaksinasi kepada sebanyak mungkin warga Indonesia. Vaksinasi berbayar pada akhirnya akan mengurangi jumlah orang yang melakukan vaksinasi. Tentu ini menurunkan efektivitas vaksinasi.

Penghilangan biaya akan membuat populasi yang mendapat vaksinasi semakin besar. Tantangannya adalah bagaimana cara membuat mayoritas populasi Indonesia mendapatkan vaksinasi dalam waktu yang singkat, tanpa fenomena bottle neck, terhadap sekitar 200 juta orang (70 persen dari populasi).

Namun untuk ini, jangan pernah meremehkan kemampuan Indonesia. Tahun lalu, kita mampu menyelenggarakan Pemilihan Umum dengan jumlah pemilih lebih dari 190 juta orang dan dilakukan dalam satu hari. Tentu, menyelenggarakan sebuah vaksinasi kolosal terhadap 200 juta orang dalam waktu setahun, bukan satu hari, bukanlah perkara tak mungkin. Ini hanya masalah niat, apakah pemerintah mau mengalokasikan anggaran dan upaya untuk memenuhi hak asasi manusia untuk mendapatkan hak hidup dan hak kesehatan. (sumber: tempo.co)

Penanganan Pandemi Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 sudah memasuki tahap vaksinasi. Beberapa negara seperti Kanada dan Singapura mengumumkan akan membagi vaksinasi gratis kepada warganya. Singapura bahkan juga menyampaikan, warga asing yang berdiam di negara mereka juga akan mendapatkan vaksinasi gratis.

Bagaimana dengan Indonesia?  Awal bulan Desember 2020 ini, pemerintah mengumumkan 1,2 juta vaksin sudah tiba. Menteri Kesehatan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri No HK.01.07/Menkes/9860/2020 pada 3 Desember 2020 yang mengatur pelaksanaan vaksinasi.

Regulasi ini membagi program vaksinasi menjadi dua macam. Program pertama, vaksinasi gratis yang akan dipimpin Kementerian Kesehatan. Program kedua, vaksinasi mandiri atau berbayar yang dilakukan badan usaha milik negara (BUMN).

Ada dua implikasi dari kebijakan ini. Pertama, dalam beberapa berita yang muncul kemudian, pemerintah menyebut, target vaksinasi gratis untuk menjangkau 30 persen populasi, sementara vaksinasi berbayar menarget 70 persen populasi Indonesia. Dalam hal ini, beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat sudah meminta pemerintah membalik angka ini, vaksinasi gratis untuk 70 persen populasi, sementara vaksinasi berbayar untuk 30 persen populasi. Namun tetap saja pembagian ini menunjukkan ada problem ketidakpahaman atas tujuan dari vaksinasi itu sendiri.

Implikasi kedua, pembagian vaksinasi gratis dan vaksinasi berbayar ini menunjukkan cara pikir diskriminatif yang potensial melanggar hak asasi manusia. Vaksinasi adalah hak setiap warga negara untuk mendapatkan akses kesehatan dan di saat yang bersamaan juga hak kolektif masyarakat untuk sehat.

Bukan untuk Pribadi

Regulasi Menteri Kesehatan ini menunjukkan kesalahkaprahan memandang vaksinasi sebagai perlindungan pribadi. Vaksinasi, dari dulu sampai sekarang, fungsinya adalah cara untuk memunculkan kekebalan kolektif (herd immunity).

Menurut Eleanor Riley (Reuters, 2020), profesor imunologi dan penyakit menular dari Universitas Edinburgh, kekebalan kolektif bukan untuk perlindungan pribadi. Kekebalan kolektif adalah untuk melindungi yang rentan. Jika 98 persen populasi sudah divaksinasi, maka 2 persen yang tersisa akan terlindungi karena hanya ada sedikit virus beredar di masyarakat.

Mengenai berapa persen populasi yang harus divaksinasi agar tercipta kekebalan kolektif (herd immunity), tergantung kepada beberapa faktor. Misal, bagaimana virus penyebab penyakitnya itu sendiri. Virus campak misalnya, membutuhkan 92 persen populasi harus divaksinasi (Reuters, 2020). Hal lain, tergantung juga kepada tingkat kemanjuran (efficacy) dari vaksinnya. Hal berikutnya, seberapa luas vaksinasi dilakukan terhadap populasi.

Para pakar menyebut sejumlah angka persentase populasi yang berbeda untuk untuk syarat kekebalan kolektif untuk virus SARS-Cov2-2019. Semua pendapat menyebut di atas 60 persen populasi. Badan Kesehatan Dunia (WHO) merilis angka 70 persen (Reuters, 2020). Bloom BR dan Lambert PH dalam “The Vaccine Book” (2016) menyebut angka minimal 80 persen.

Namun yang mengkhawatirkan adalah, tak ada jaminan juga vaksinasi dengan sejumlah itu akan bisa menghentikan peredaran virus ini. Belum lagi, belajar dari coronavirus yang lain, kekebalan terhadap virus ini hanya bertahan antara 12-18 bulan (Kiyuka PK, Agoti CN, Munywoki PK, et.al, 2018). Artinya, seberapa cepat kita bisa melakukan vaksinasi terhadap sejumlah besar populasi ini sangat menentukan. (Arfi Bambani Amri,  Mahasiswa Master Administrasi Publik Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore. Sumber: tempo.co)

Tanpa banyak mendapat sorotan pemerintah kini tengah melakukan seleksi para pimpinan baru Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Tercatat  sekitar 180 pendaftar yang lolos seleksi administrasi untuk melaju tahap berikutnya. Masuk daftar yang lolos seleksi, antara lain, dokter Achmad Yurianto, yang sebelumnya dikenal sebagai juru bicara pemerintah kasus Covid-19.

Sejumlah syarat berat mesti dipenuhi bagi mereka yang akan duduk sebagai  direksi lembaga yang kini menjadi tumpuan sebagian besar rakyat Indonesia membiayai mereka dalam masalah kesehatan.  Syarat itu, antara lain, memiliki keahlian dalam bidang perbankan, asuransi, aktuari hingga dana pensiun.

Dari sisi waktu, masa kerja Dewan Pengawasan dan Direksi BPJS periode sekarang akan berakhir pada Februari 2021. Setelah itu wajah-wajah baru -kita harapkan- akan menjalankan BPJS periode 2021-2026, sesuai visi dan misi lembaga ini, antara lain, membantu masyarakat mendapatkan hak kesehatan mereka. Hak mendapat kesehatan adalah hak warga negara yang diatur konstitusi.

Selama ini BPJS, terutama, mendapat sorotan karena pimpinannya selalu meneriakkan kata “defisit“ dalam operasional lembaganya. Penyebabnya,  antara lain, disebutkan karena ketidakpatuhan masyarakat membayar iuran. BPJS sendiri, kita tahu, telah menetapkan sebuah aturan yang terhitung ganjil  –bersifat memaksa– yakni keanggotaannya mesti bersifat “satu keluarga” – hal yang menyebabkan orang mesti membiayai seluruh keluarga jika ingin mendapat fasilitas dari BPJS.

Kebijakan inilah yang seharusnya dibenahi. Kita berharap Pemerintah segera menyetip aturan ganjil ini. Idealnya BPJS bersifat sukarela dan untuk rakyat tak mampu pemerintah tetap yang menanggung pembayarannya. Tentu perlu seleksi ketat menentukan siapa masuk kategori ini.

Memang banyak hal yang mesti dibenahi oleh BPJS. Sorotan banyak pihak atas “ketekoran” BPJS pada akhirnya, memunculkan berbagai “bau tak sedap” perihal operasional BPJS ini: dari soal pembayaran klaim rumah sakit yang lama hingga isu pembatasan pasien untuk sejumlah penyakit yang biaya pengobatannya tinggi, seperti, misalnya penyakit jantung.

Penyakit jantung memang salah satu penyakit yang paling banyak “memakan dana” BPJS. Tiga lainnya adalah gagal ginjal, kanker, dan stroke. Tingginya biaya pengobatan jantung, yang diperkirakan memakan setengah dana yang dibayarkan BPJS, tak lepas dari dua hal, yakni banyaknya penderita penyakit ini dan tingginya biaya pengobatan, berikut komponen peralatan untuk menyembuhkan mereka yang menderita penyakit ini. Teknologi baru memang telah membuat pasien penderita jantung kini dengan cepat bisa diobati. Pemasangan ring misalnya tak perlu lagi dengan melakukan pembedahan tetapi menggunakan sebuah alat canggih yang penerapannya bisa dilihat dari layar monitor. Peralatan ini sangat membantu –juga melegakan bagi penderita penyakit ini- kendati di sisi lain juga mahal.

Jumlah penderita jantung di Indonesia cukup tinggi, yakni sekitar 2, 7 juta orang, dan tentu dengan adanya BPJS, mereka akan sangat terbantu. Karena itulah semestinya Pemerintah atau BPJS tidak membatasi pengobatan penderita jantung ini seperti rumor yang beredar diam-diam. Sebaliknya mendorong rumah sakit-rumah sakit untuk ikut serta menangani pasien jantung. Jika benar BPJS membatasi jumlah pengobatan penderita jantung –dengan alasan “penekanan anggaran”misalnya, maka hal ini sangat memprihatinkan. Kita berharap BPJS juga meng-clearkan perihal rumor tak sedap ini.

Kita berharap pimpinan BPJS Kesehatan mendatang akan jauh lebih bagus dari sekarang. Memiliki komitmen tinggi  sekaligus strategi jitu menciptakan BPJS seperti yang kita inginkan bersama: membantu rakyat mendapat fasilitas kesehatan sekaligus tidak membuat BPJS defisit dan “berteriak-teriak” tekor seperti yang kita dengar selama ini. Kita berharap panitia seleksi  mendapatkan pimpinan BPJS yang benar-benar bisa menahkodai “kapal BPJS Kesehatan” menjadi kapal yang menyelamatkan rakyat negeri ini dari beban biaya kesehatan tanpa harus membuat BPJS defisit. Tanpa harus menghilangkan hak pasien mendapat pengobatan. []

Jakarta – Direktur Jenderal industri kimia, farmasi dan tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Muhammad Khayam mengatakan sektor IFKT mampu mencatat pertumbuhan positif di tengah pandemi Covid-19.

Bahkan, kata dia industri kimia, farmasi, dan obat  tradisional menjadi penyumbang pertumbuhan terbesar yakni 8,65 persen pada triwulan II 2020. Angka tersebut, menurut dia melampaui pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang mengalami kontraksi 5,32 persen.

“Pada triwulan II tahun ini, kontribusi sektor IKFT menembus hingga 4,5 persen,” ujar Muhammad Khayam seperti dikutip Tagar dalam siaran pers Kemenperin, Jumat, 18 September 2020.

Berdasarkan catatannya sisi kinerja ekspor sektor IFKT pada triwulan II 2020 menyumbang USD 14,59 miliar dengan realisasi investasi menembus Rp 32,39 triliun yang terdiri dari penanaman modal asing (PMA) sebesar Rp 20,06 triliun dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) sekitar Rp 12,33 triliun.

Angka tersebut menurut dia masih kurang dari target kinerja ekspor sektor IKFT 2020, yaitu menembus USD 34,14 miliar, dengan realisasi investasi sebesar Rp 84,65 triliun dan penyerapan tenaga kerja sebanyak 7,37 juta orang.

“Jumlah tenaga kerja di sektor IKFT sebanyak 6,96 juta orang dari total tenaga kerja industri pengolahan yang mencapai 18,46 juta orang,” tuturnya.

Kemenperin pun berusaha memacu IFKT agar mampu berkontribusi dalam perekonomian nasional. Setidaknya, ada lima arah kebijakan strtegis yang telah ditetapkan pihaknya.

Pertama, pengembangan sumber daya manusia industri, kedua, pengembangan sarana dan prasarana industri, ketiga, pengembangan pemberdayaan industri, keempat kebijakan fasilitas fiskal dan nonfiskal serta kelima kebijakan reformasi birokrasi.(sumber: tagar.id)

Pemerintah terus mempersiapkan pelaksanaan vaksin COVID-19 secara menyeluruh. Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Prof. Abdul Kadir mengirimkan surat edaran No. HK.02.02/II/4205/2020 tentang Kesiapan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan Vaksinasi COVID-19.

Surat edaran ditujukan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dan provinsi di seluruh Indonesia. Sasaran penerima vaksinasi adalah masyarakat indonesia dengan kriteria berusia 18-59 tahun dan memiliki kondisi tubuh yang sehat.

Jumlah vaksin saat ini tidak akan mencukupi untuk mengimunisasi seluruh masyarakat Indonesia. Maka pelaksanaan vaksinasi akan dilakukan secara bertahap.

Tahap pertama akan dilaksanakan dengan prioritas sasaran tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya, dan pemberi pelayanan publik termasuk TNI/Polri dan aparat hukum.

Untuk memastikan pelaksanaan vaksinasi tersebut berjalan baik, diperlukan kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan. Fasilitas pelayanan kesehatan yang akan melaksanakan vaksinasi COVID-19 meliputi Puskesmas dan jaringannya, rumah sakit dan klinik milik pemerintah (kementerian/lembaga/TNI/Polri/Pemda) dan swasta, serta kantor kesehatan pelabuhan.

Kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan tersebut meliputi ketersediaan sumber daya manusia kesehatan, rantai dingin (cold chain) dan prasarana untuk mempertahankan mutu vaksin serta pemantauan dan penanggulangan kejadian ikutan pasca imunisasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam rangka rencana pelaksaan vaksinasi COVID-19 diberitahukan kepada kepala dinas kesehatan daerah provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia untuk segera mempersiapkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di wilayahnya. Kepala dinas harus mempersiapkan pemetaan sasaran prioritas penerima vaksin sesuai dengan kriteria dan merencanakan fasilitas pelayanan kesehatan serta sumber daya lainnya yang diperlukan untuk pelaksanaan vaksinasi COVID-19 di wilayah masing-masing.

Pelayanan vaksinasi dilakukan oleh Puskesmas maupun fasilitas pelayanan kesehatan lainnya milik pemerintah dan swasta yang ditunjuk oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah setempat yang pelaksanaannya sesuai sesuai dengan ketentuan peraturan peundang-undangan. Penerapan protokol kesehatan dalam pemberian pelayanan vaksinasi COVID-19 juga harus diterapkan.

Dinas kesehatan daerah provinsi dan kabupaten/kota menetapkan koordinator atau penanggungjawab pelaksanaan vaksinasi COVID-19 untuk mempermudah koodinasi lebih lanjut. Dinas kesehatan daerah provinsi dan kabupaten/kota mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar pelaksanaan vaksinasi COVID-19 tidak mengganggu pelayanan vaksinasi rutin dan pelayanan kesehatan esensial lainnya.

Dinas kesehatan daerah kebupaten/kota juga mengoptimalkan kegiatan surveilans COVID-19 termasuk pelaporannya.

Dirjen Prof Kadir mengharapkan pelaksanaan vaksinasi COVID-19 berjalan lancar sampai pada tahapan – tahapan selanjutnya dalam memvaksinasi masyarakat Indonesia.

“Kami harapkan kerja sama dari semua pihak untuk kelancaran vaksinasi COVID-19, dan sampai pada tahapan pemberian vaksin selanjutnya agar masyarakat Indonesia terlindungi dari COVID-19,” kata Dirjen Kadir.

Pelaksanaan vaksinasi COVID-19 bertujuan untuk menurunkan kesakitan dan kematian akibat COVID-19, mencapai kekebalan kelompok (herd immunity), mencegah dan melindungi kesehatan masyarakat, melindungi dan memperkuat sistem kesehatan secara menyeluruh, menjaga produktifitas serta meminimalkan dampak sosial dan ekonomi. [sumber: tagar.id]