Vaksinasi adalah Hak Asasi Manusia
Penanganan Pandemi Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 sudah memasuki tahap vaksinasi. Beberapa negara seperti Kanada dan Singapura

Penanganan Pandemi Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 sudah memasuki tahap vaksinasi. Beberapa negara seperti Kanada dan Singapura mengumumkan akan membagi vaksinasi gratis kepada warganya. Singapura bahkan juga menyampaikan, warga asing yang berdiam di negara mereka juga akan mendapatkan vaksinasi gratis.
Bagaimana dengan Indonesia? Awal bulan Desember 2020 ini, pemerintah mengumumkan 1,2 juta vaksin sudah tiba. Menteri Kesehatan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri No HK.01.07/Menkes/9860/2020 pada 3 Desember 2020 yang mengatur pelaksanaan vaksinasi.
Regulasi ini membagi program vaksinasi menjadi dua macam. Program pertama, vaksinasi gratis yang akan dipimpin Kementerian Kesehatan. Program kedua, vaksinasi mandiri atau berbayar yang dilakukan badan usaha milik negara (BUMN).
Ada dua implikasi dari kebijakan ini. Pertama, dalam beberapa berita yang muncul kemudian, pemerintah menyebut, target vaksinasi gratis untuk menjangkau 30 persen populasi, sementara vaksinasi berbayar menarget 70 persen populasi Indonesia. Dalam hal ini, beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat sudah meminta pemerintah membalik angka ini, vaksinasi gratis untuk 70 persen populasi, sementara vaksinasi berbayar untuk 30 persen populasi. Namun tetap saja pembagian ini menunjukkan ada problem ketidakpahaman atas tujuan dari vaksinasi itu sendiri.
Implikasi kedua, pembagian vaksinasi gratis dan vaksinasi berbayar ini menunjukkan cara pikir diskriminatif yang potensial melanggar hak asasi manusia. Vaksinasi adalah hak setiap warga negara untuk mendapatkan akses kesehatan dan di saat yang bersamaan juga hak kolektif masyarakat untuk sehat.
Bukan untuk Pribadi
Regulasi Menteri Kesehatan ini menunjukkan kesalahkaprahan memandang vaksinasi sebagai perlindungan pribadi. Vaksinasi, dari dulu sampai sekarang, fungsinya adalah cara untuk memunculkan kekebalan kolektif (herd immunity).
Menurut Eleanor Riley (Reuters, 2020), profesor imunologi dan penyakit menular dari Universitas Edinburgh, kekebalan kolektif bukan untuk perlindungan pribadi. Kekebalan kolektif adalah untuk melindungi yang rentan. Jika 98 persen populasi sudah divaksinasi, maka 2 persen yang tersisa akan terlindungi karena hanya ada sedikit virus beredar di masyarakat.
Mengenai berapa persen populasi yang harus divaksinasi agar tercipta kekebalan kolektif (herd immunity), tergantung kepada beberapa faktor. Misal, bagaimana virus penyebab penyakitnya itu sendiri. Virus campak misalnya, membutuhkan 92 persen populasi harus divaksinasi (Reuters, 2020). Hal lain, tergantung juga kepada tingkat kemanjuran (efficacy) dari vaksinnya. Hal berikutnya, seberapa luas vaksinasi dilakukan terhadap populasi.
Para pakar menyebut sejumlah angka persentase populasi yang berbeda untuk untuk syarat kekebalan kolektif untuk virus SARS-Cov2-2019. Semua pendapat menyebut di atas 60 persen populasi. Badan Kesehatan Dunia (WHO) merilis angka 70 persen (Reuters, 2020). Bloom BR dan Lambert PH dalam “The Vaccine Book” (2016) menyebut angka minimal 80 persen.
Namun yang mengkhawatirkan adalah, tak ada jaminan juga vaksinasi dengan sejumlah itu akan bisa menghentikan peredaran virus ini. Belum lagi, belajar dari coronavirus yang lain, kekebalan terhadap virus ini hanya bertahan antara 12-18 bulan (Kiyuka PK, Agoti CN, Munywoki PK, et.al, 2018). Artinya, seberapa cepat kita bisa melakukan vaksinasi terhadap sejumlah besar populasi ini sangat menentukan. (Arfi Bambani Amri, Mahasiswa Master Administrasi Publik Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore. Sumber: tempo.co)
NO COMMENTS