Bogor – Sejumlah vendor yang selama ini menyuplai dan menyediakan kebutuhan RSUD Ciawi, Kabupaten Bogor, mengeluh keterlambatan pembayaran dari rumah sakit pemerintah iniu. Mareka menyesalkan plt Dirut RSUD Ciawi dr. Yuke Meistisia A. Satoto tidak membereskan masalah ini sebelum dipindahkan dan memimpin RSUD Cibinong. Yuke beberapa pekan lalu ditunjuk menjadi direktur utama RSUD Cibinong menggantikan Dokter Wahtu Eko Widiharso.

Kepada media ini seorang petugas dari vendor obat-obatan menyatakan ia sudah berkali-kali menagih pembayaran tapi belum juga dibayarkan. “Saya tidak tahu kenapa,” ujarnya. Ia bercerita sejumlah rekan-rekannya juga rajin mengantre ke lantai 2 RSUD Ciawi untuk menagih pembayaran itu. Mereka menagih sejak beberapa waktu lalu.

Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Bogor, Muadz Khalim menegaskan persoalan-persoalan seretnya pembayaran ini adalah tanggung jawab direktur rumah sakit. “Direktur yang tanggung jawab,” katanya.

RSUD Ciawi merupakan salah satu rumah sakit terkemuka di Kabupaten Bogor.  Terletak di jalur Puncak, Ciawi, fasilitas rumah sakit ini terhitung lengkap. Rumah sakit ini misalnya juga melayani pengobatan dan operasi jantung. Fasilitas cath lab, alat operasi jantung RSUD Ciawi cukup canggih dan telah bekerja sama dengan BPJS.

Dari penelusuran media ini ternyata tidak hanya  vendor obat-obatan atau alat kesehatan yang pembayarannya seret, tapi juga berkaitan dengan jantung ini. Beberapa waktu silam media ini juga pernah menulis perihal vendor cath lab yang mengeluh seretnya pembayatan dari RSUD Ciawi berkaitan dengan kerja sama  pengoperasional cath lab. Padahal perusahaan ini, telah menginvestasikan banyak dana, demi membantu RSUD Daerah untuk menjadi salah satu rumah sakit terlengkap di Bogor.

Dihubungi fokussehatnews, seorang manager SMU Healthcare, perusahaan kesehatan yang bekerja sama dengan RSUD Ciawi dalam pelayanan fasilitas cath lab mengaku RSUD Ciawi belum membayar kewajibannya yang jumlanya sekitar Rp 5 miliar. “Ini akumulasi dari dulu,  kami tentu mengharapkan ini diselesaikan,” ujarnya.

Seretnya pembayaran ini, menurut sumber fokussehatnews, tidak lepas dari managemen pengurusan keuangan rumah sakit itu sendiri. Dan itu berarti berada pada pucuk pimpinannya, dalam hal ini tentu saja plt RSUD Ciawi, Dokter Yuke.

Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Bogor, Muadz Khalim menegaskan persoalan-persoalan seretnya pembayaran ini adalah tanggung jawab direktur rumah sakit. “Direktur yang tanggung jawab,” katanya. Wakil rakyat dari PDIP ini berjanji akan meminta penjelasan kasus seretnya pembayaran ini dan meminta data-data terkait  belum dipenuhinya hak-hak para vendor tersebut. “Saya belum punya datanya,” ujarnya.

Humas RSUD Ciawi Hery menyatakan ia tidak tahu perihal kenapa pembayaran itu molor. “Saya tidak tahu soal itu, yang saya tahu kepala pelayanannya  tidak ada,” ujarnya. Ia mengaku Desember ini pensiun. Media ini telah meminta konfirmasi pada dokter Yuke perihal kasus ini, tapi sejauh ini belum ada tanggapan. (kis)

 

 

RENCANA Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin membentuk kelas khusus BPJS Kesehatan bagi ekonomi menengah ke atas semakin menegaskan terjadi kekeliruan model bisnis asuransi kesehatan tersebut. Kondisi yang menimbulkan banyak masalah : mulai dari tidak optimalnya layanan ke masyarakat sampai berdarah-darahnya keuangan BPJS Kesehatan.

 

Budi Gunadi mengatakan pendirian BPJS orang kaya itu mendesak karena selama ini, orang kaya berobat menggunakan BPJS Kesehatan dengan mengambil manfaat dari peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan atau PBI, hingga akhirnya membebani negara. Sebaiknya, orang kaya juga memiliki asuransi swasta untuk membiayai perawatan kesehatannya. Kelas pada BPJS Kesehatan yang mengatur kelas 1,2,3 ternyata justru menciptakan ketidakadilan bagi masyarakat dalam mendapatkan layanan kesehatan.

 

Sudah sejak awal model bisnis BPJS “sama rata, sama rasa” ini menuai kritik. Penyebabnya, orang kaya dengan membayar iuran premi yang tidak seberapa, bisa memanfaatkan fasilitas BPJS Kesehatan untuk membayar mengobati penyakitnya yang membutuhkan biaya mahal. Selama ini, pengeluaran terbesar BPJS Kesehatan yang ditanggung dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), untuk menutup biaya penyakit katastropik antara lain jantung, gagal ginjal, kanker, stroke, sirosis hati, thalassemia, leukemia, dan homofilia. Penyakit katastropik biasanya membutuhkan perawatan medis yang lama dan berbiaya tinggi.

 

Kendati sudah mendapat penolakan dari pelbagai kalangan atas ide tersebut, Menteri Budi tidak boleh mundur. Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang dijadikan argumentasi juga tidak bisa otomatis menjadi basis penolakan ide tersebut. Undang-undang itu hanya mengatur tatanan umum, soal BPJS Kesehatan merupakan hak setiap warga negara yang menjadi peserta. Tetapi mereka abai, untuk mengatur kelangsungan hidup BPJS Kesehatan.

 

Selama ini, pemerintah menggunakan sistem single pool dalam kepesertaan BPJS. Seluruh peserta dianggap dalam satu kantong yang sama. Tujuannya untuk memudahkan. Semua iuran itu dimasukkan dalam satu kantong yang sama, sehingga pemanfaatannya bisa digunakan beramai-ramai tanpa memandang golongan. Ini berbeda dengan kebijakan di Thailand yang menerapkan muiltiple pools. Sistem ini menerapkan pembagian kelompok berdasarkan profesi dan pendapatan rakyat. Uang yang dikumpulkan pun dimasukkan dalam kantong yang terpisah, berikut penggunaannya. Kelompok pekerja, akan dibiayai kesehatannya dari iuran yang ada di kantong itu dan tidak mengambil dari kelompok lain.

 

Konsekuensi single pool yang diterapkan di Indonesia ini tidak bisa memisahkan yang kaya dan miskin. Semua peserta, entah dia kaya atau miskin berhak memanfaatkan BPJS. Hal ini tidak salah selama akses pemanfaatannya tercapai dan semua orang mendapatkan kesempatan yang sama. Yang jadi masalah, selama ini pemerataan akses dan kesempatan sangat timpang.

 

Di awal pelayanan JKN, kelompok PBI amat minim memanfaatkan layanan JKN bersubsidi. Kelompok mandiri dengan peserta kebanyakan golongan menengah ke atas justru lebih banyak frekuensi pemanfaatannya. Masyarakat di perkotaan dengan banyaknya rumah sakit dan layanan kesehatan lainnya memungkinkan kelompok mandiri lebih sering menggunakan layanan BPJS ketimbang kelompok PBI. Kekurangan biaya dari kelompok mandiri ini pun mengambil dari pos PBI.

 

Sesuai amanat Undang-Undang, setiap warga negara berhak mendapatkan layanan kesehatan yang sama. Pemerintah tak perlu ragu untuk menaikkan iuran kelas mandiri yang hanya berjumlah 30 juta orang itu agar dana yang dikumpulkan cukup untuk membiayai perawatan kesehatan mereka. Sebaliknya, pemerintah juga mendorong agar kelompok PBI yang berjumlah 180 juta itu tak ragu untuk mengakses layanan JKN agar prinsip keadilan benar-benar bisa dirasakan untuk semua rakyat. (Editorial Tempo.co https://kolom.tempo.co/read/1661800/momentum-menata-ulang-model-bisnis-bpjs-kesehatan)

POST TAGS:

Sirop obat membuat heboh dan waswas publik. Badan POM lembaga yang diharapkan bisa mencegah dan menindak produsen yang membuat obat celaka ini. Berikut Penjelasan Badan POM tentang Perkembangan Hasil Pengawasan Sirup Obat

PENJELASAN BPOM RI

NOMOR HM.01.1.2.11.22.179 TANGGAL 17 NOVEMBER 2022

TENTANG

INFORMASI KESEMBILAN PERKEMBANGAN HASIL PENGAWASAN DAN PENINDAKAN TERKAIT SIRUP OBAT YANG MENGANDUNG CEMARAN ETILEN GLIKOL/DIETILEN GLIKOL

Sehubungan dengan hasil investigasi lebih lanjut terkait temuan sirup obat yang mengandung cemaran Etilen Glikol (EG)/Dietilen Glikol (DEG) yang melebihi ambang batas, BPOM menyampaikan informasi sebagai berikut:

  1. BPOM terus berproses menelusuri dan menindaklanjuti kejadian cemaran EG/DEG pada sirup obat hingga ke akar permasalahannya. Tidak hanya sebagai upaya perlindungan kesehatan masyarakat, tetapi hal ini juga menjadi upaya dalam perbaikan sistem jaminan keamanan dan mutu obat di Indonesia.
  2. Berdasarkan hasil pengawasan BPOM melalui penelusuran data registrasi dan sampling post market, sebanyak 168 (seratus enam puluh delapan) produk sirup obat tidak mengandung 4 (empat) pelarut (Propilen Glikol, Polietilen Glikol, Sorbitol, dan/atau Gliserin/Gliserol), sehingga tidak mengandung cemaran EG/DEG dan aman untuk diedarkan. Daftar produk sirup obat yang aman digunakan sepanjang sesuai aturan pakai dapat dilihat pada Lampiran 1.
  3. BPOM melakukan Intensifikasi surveilans mutu produk sirup obat beredar dan bahan baku tambahan dengan metode penelusuran balik sebagai pengembangan pengawasan di jalur distribusi. Verifikasi hasil pengujian bahan baku obat dilakukan secara mandiri oleh Industri Farmasi (IF), termasuk untuk cemaran EG/DEG, dalam rangka memastikan terjaminnya keamanan dan mutu sirup obat. Verifikasi ini dilakukan berdasarkan pemenuhan kriteria, antara lain kualifikasi pemasok, pengujian bahan baku pada setiap kedatangan dan setiap wadah, serta memastikan metode pengujian mengikuti standar/ farmakope terkini.
  4. Berdasarkan verifikasi hasil pengujian bahan baku obat tersebut, terdapat 126 (seratus dua puluh enam) produk dari 15 (lima belas) IF yang dinyatakan telah memenuhi ketentuan sesuai kriteria, sehingga direkomendasikan untuk dapat diedarkan. Daftar produk yang memenuhi ketentuan dan aman digunakan sepanjang sesuai aturan pakai dapat dilihat pada Lampiran 2.
  5. Dengan penjelasan ini, maka informasi produk sirup obat pada Penjelasan BPOM Tentang Informasi Kelima (23 Oktober 2022) dan Keenam (27 Oktober 2022) Hasil Pengawasan BPOM Terkait Sirup Obat yang Tidak Menggunakan Propilen Glikol, Polietilen Glikol, Sorbitol, dan/atau Gliserin/Gliserol, yang sebelumnya dinyatakan aman termasuk dari kelima industri farmasi yang mengandung cemaran EG/DEG, dinyatakan tidak berlaku.
  6. Saat ini, tingkat maturitas IF masih perlu ditingkatkan, utamanya pada 24% IF yang tingkat maturitasnya minimal. Untuk itu, BPOM akan melakukan prioritas pembinaan pada IF tersebut. Selanjutnya, untuk dapat menggambarkan maturitas IF yang lebih komprehensif, maka penilaian maturitas IF, selain penerapan CPOB juga akan mencakup kriteria rekam jejak industri, penerapan farmakovigilans, Good Registration Management (Manajemen Registrasi yang Baik), dan Good Clinical Practice (Cara Uji Klinik yang Baik).
  7. Dalam rangka penanganan kasus Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) dan pencegahan agar kasus ini tidak terjadi lagi, BPOM telah melakukan komunikasi dengan World Health Organization (WHO) melalui WHO Global Surveillance and Monitoring System (GSMS) dalam bentuk Medical Product Alert terkait penanganan kasus KTD GGAPA. Selain itu, BPOM juga menjalin komunikasi terkait standar uji cemaran EG/DEG pada produk jadi dan metode pengujian dengan United States FDA, Thailand FDA, Saudi Arabia FDA, dan National Medical Products Administration (NMPA) Malaysia.
  8. Dari hasil pengawasan dan pengujian terhadap produk jadi dan bahan baku sebelumnya pada 5 (lima) IF diketahui mengandung cemaran EG/DEG hingga mencapai 433-702 kali melebihi ambang batas. Kelima IF tersebut telah diberikan sanksi administratif berupa pencabutan sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), pencabutan izin edar produk sirup obat, penghentian kegiatan produksi, penarikan semua sirup obat dari peredaran, dan pemusnahan semua persediaan (stock) sirup obat. Selain itu, BPOM juga telah memberikan sanksi administratif berupa pencabutan Sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB)  terhadap 2 (dua) Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang terlibat dalam peredaran bahan baku Propilen Glikol yang Tidak Memenuhi Syarat (TMS).
  9. Industri Farmasi sebagai pemegang izin edar obat bertanggung jawab terhadap mutu, keamanan, dan khasiat produk, termasuk mutu bahan baku yang digunakan, serta wajib melakukan pemantauan khasiat, keamanan, dan mutu obat selama obat diedarkan dan wajib melaporkan hasilnya kepada BPOM. IF harus mematuhi ketentuan, standar, dan regulasi yang berlaku antara lain Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, dan Peraturan BPOM  Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat.
  10. Dalam pengawasan obat di peredaran, BPOM telah mengidentifikasi adanya gapdalam sistem jaminan keamanan dan mutu obat dari hulu ke hilir, antara lain:
    1. pemasukan Bahan Pelarut yang merupakan komoditi non-lartas yang tidak melalui pengawasan dan tidak memiliki Surat Keterangan Impor (SKI) BPOM;
    2. tidak adanya ketentuan batas cemaran EG/DEG dalam produk obat jadi pada Farmakope Indonesia maupun internasional;
    3. kondisi maturitas IF yang beragam, yang harus dijadikan dasar untuk penetapan kebijakan yang berdampak pada masyarakat luas dan ekonomi);
    4. shortage (kelangkaan) bahan baku obat dan perbedaan harga antara pelarut pharmaceutical grade dengan chemical grade dalam periode tertentu yang dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan, sehingga perlu membangun kemandirian bahan baku pelarut;
    5. sistem pelaporan Monitoring Efek Samping Obat (MESO) tidak digunakan oleh tenaga Kesehatan;
    6. tidak adanya efek jera dari perkara hukum selama ini pada kasus kejahatan obat dan makanan (karena belum pernah ada bukti yang menyebabkan kematian).
  11. Terkait perkembangan penindakan yang dilakukan BPOM, telah teridentifikasi beberapa pihak yang memanfaatkan gap (celah) dalam sistem jaminan keamanan dan mutu dari hulu ke hilir, serta kelalaian pihak industri dalam menjalankan tanggung jawab pengawasan dan penjaminan mutu produk, sehingga kejahatan tidak tercegah pada saat masuknya pasokan bahan baku atau eksipien pada rantai produksi.
  12. Untuk memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan bagi masyarakat, BPOM telah menindak 5 (lima) IF yang melakukan tindak pidana memproduksi sirup obat mengandung cemaran EG/DEG di atas ambang batas dan 1 (satu) distributor bahan kimia yang melakukan pemalsuan/pengoplosan propilen glikol (PG). Kelima IF dan distributor tersebut adalah PT Yarindo Farmatama, PT Universal Pharmaceutical Industries, PT Afi Farma, PT Samco Farma, PT Ciubros Farma, dan CV Samudra Chemical.
  13. Dari keenam sarana tersebut, BPOM menangani investigasi dan penyidikan terhadap 4 sarana IF. PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical Industries saat ini dalam status penyidikan dan telah dilakukan penetapan tersangka. Terhadap PT Ciubros Farma tengah dilakukan proses penyidikan dan masih dilakukan pemeriksaan saksi dan ahli, untuk selanjutnya dilakukan penetapan tersangka. Sementara terhadap PT Samco Farma, masih dilakukan investigasi dan pendalaman informasi, serta pemeriksaan saksi-saksi untuk segera dapat menetapkan tersangka. Penyidikan terhadap 2 sarana lain, yaitu PT Afi Farma dan CV Samudra Chemical, telah berproses bersama antara BPOM dan Bareskrim Polri.
  14. BPOM telah berkoordinasi dengan pihak terkait seperti Kepolisian dan Kejaksaan Agung untuk dukungan kelancaran proses penindakan dan penegakan hukum sehingga dapat memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan.
  15. Penindakan terhadap kejahatan kemanusiaan ini telah dan akan dilakukan secara tegas. BPOM dengan segera berkomitmen melakukan upaya perbaikan dan pencegahan agar tragedi ini tidak terulang. Belajar dari kasus GGAPA dan adanya bukti tindak kejahatan pemalsuan bahan baku obat, IF harus selalu menegakkan sistem jaminan keamanan-mutu obat secara konsisten. BPOM meminta komitmen IF, Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia, dan International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) untuk:
    1. memenuhi persyaratan mutu produk sesuai dengan peraturan perundang-undangan, termasuk melakukan kualifikasi pemasok bahan baku;
    2. melakukan penjaminan mutu produk selama beredar di jalur distribusi sampai ke konsumen;
    3. melaporkan kepada BPOM apabila terjadi KTD yang diduga disebabkan produk obat, sebagai early warning pencegahan dan penanggulangan KTD;
    4. melakukan penarikan produk secara sukarela jika terdapat produk yang tidak memenuhi ketentuan, terutama jika terbukti terkait dengan KTD; dan
    5. meningkatkan pembinaan anggota asosiasi dalam menjaga mutu obat guna perlindungan kesehatan masyarakat dan keberlangsungan usaha IF.
  16. Upaya transformasi sistem untuk memperkuat sistem jaminan keamanan dan mutu obat di Indonesia perlu dilakukan, antara lain melalui penguatan BPOM agar lebih independen dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagai regulator dan pengawas obat dan makanan. Peningkatan peran, tugas, dan fungsi BPOM, selain terkait aspek kesehatan, juga pada aspek ekonomi-industri-perdagangan dan penegakan hukum untuk melindungi masyarakat dari kejahatan terkait obat dan makanan, perlu perkuatan legal payung hukum berupa Undang-Undang dan perkuatan kelembagaan.
  17. Kemandirian bahan baku obat produksi dalam negeri perlu terus dibangun untuk meningkatkan ketahanan sistem kesehatan nasional (resiliensi industri farmasi), serta lebih menjamin mutu dan keamanan obat melalui sinergi dan kolaborasi dengan berbagai pihak.
  18. BPOM akan terus memperbaharui informasi terkait hasil pengawasan sirup obat dalam KTD GGAPA. Komunikasi publik akan efektif jika informasi yang akurat, benar, dan valid dilakukan berkolaborasi dalam kerangka pentahelix (pemerintah, pelaku usaha, akademisi, komunitas masyarakat, dan media) sebagai sinergi kita membangun konsumen cerdas dan berdaya melindungi diri dari obat dan makanan yang berisiko terhadap keseahatan.  (untuk informasi lebih lanjut silakan klik https://www.pom.go.id/new/view/direct/klarifikasi_sirup_obat)
POST TAGS:

Cianjur – Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin meninjau kesiapan rumah sakit di Cianjur pada Rabu (23/11). Peninjauan tersebut untuk memastikan korban luka berat maupun korban luka ringan tertangani dengan baik.
”Saya datang untuk memastikan kesiapan seluruh rumah sakit di Cianjur. Tujuannya satu untuk orang yang dirawat jangan sampai ada yang meninggal itu saja,” ujar Menkes Budi di Cianjur, Rabu (23/11).
Menkes Budi meminta kepada tenaga kesehatan untuk fokus kepada orang yang sakit luka berat jangan sampai meninggal dan orang yang sakit luka ringan cepat sembuh. Tim Kementerian Kesehatan sudah mengidentifikasi jumlah pasien luka berat sebanyak 474 orang dan pasien luka ringan sekitar 1.800 orang.
”Pasien luka berat yang berjumlah 474 itu, 140 orang di antaranya sudah dirujuk ke rumah sakit di wilayah sekitar seperti Bogor, Sukabumi, dan Bandung,” kata Menkes. Sisanya, lanjut Menkes, pasien dengan luka ringan mau diidentifikasi di mana saja mereka berada, kondisinya seperti apa, bisa dirawat atau tidak, kecukupan fasilitasnya, sampai keberadaan dokter yang bertugas.
”Dokter sekarang sudah berdatangan, yang dibutuhkan adalah dokter spesialis ortopedi dan bedah. Itu timnya sudah datang ada dari RS Hasan Sadikin, Bandung, RS Cipto Mangunkusumo, ada juga dokter dari TNI,” tutur Menkes.
Kendala yang ada adalah ruang operasi. Menkes Budi telah memeriksa ketersediaan ruang operasi di setiap rumah sakit di Cianjur, di antaranya di RS Bhayangkara ada 1 kamar operasi, di RSUD Sayang ada 8 ruang operasi, ruang tersebut bisa dipakai semua cuman perlu sedikit perbaikan. Kemudian di RS Dr. Hafiz terdapat 2 ruang operasi. Dan di RSUD Cimacan ada 4 ruang operasi yang bisa digunakan.
”Jadi sebenarnya sudah cukup ada 15 ruang operasi kalau masing-masing ruang operasi menargetkan 10 kali tindakan. Artinya dalam sehari bisa ada 150 orang yang dioperasi. Dengan demikian 334 pasien bisa selesai dalam 3 hari sampai 4 hari,” tutur Menkes Budi.
Terkait obat-obatan, pasokan masih mencukupi karena jalur logistiknya terbuka. ”Obat-obatan tidak ada masalah. Saya tadi hanya melihat listrik mungkin perlu diperbaiki supaya alat-alat seperti CT Scan bisa digunakan. Itu penting sekali untuk bisa menangani masyarakat yang luka berat akibat gempa,” kata Menkes. (Kemenkes)

Ditunjuknya dokter ahli jantung RS Bahteramas, Kendari, dr. Sjarif  Subijakto menjadi plt Dirut RS Jantung Kendari membuat pelayanan RS Bahteramas terganggu. Penyebabnya, dokter Sjarif sebagai satu-satunya dokter intervensi hanya bisa melayani pasien di atas pukul 16.

 

Terganggunya pelayanan rumahsakit karena mengikuti jadwal dokter Sjarif diakui oleg Dirut RS Bahteramas  dokter Hasmuddin kepada wartawan penasultra.com seperti dimuat media ini pada 4 November 2022 lalu.

 

RS Bahteramas merupakah salah satu rumah sakit daerah terbesar di Sulawesi Tenggara. Dengan demikian RS ini menjadi rujukan. Pasien jantung dari dari berbagai daerah di Sulawesi Tenggara banyak mengharapkah kesembuhan dan berobat ke RS Bahteramas. Ada pun dokter Sjarif merupakan satu-satunya dokter intervensi yang artinya kehadiran dan keahliannya dibutuhkan oleh masyarakat.

 

Ditunjuknya dokter Sjarif sebagai plt dirut Rumah Sakit membuat managemen RS Bahteramas menyesuaikan diri dengan jadwal dokter Sjarif. Seperti diakui dirut RS Bahteramas, pihaknya tak berdaya menghadapi situasi ini. “Mau diapa juga, kami sudah melakukan langkah khusus untuk mengatasi masalah itu dengan memberi rujukan ke RS Makassar,” kata Hasmuddin seperti dikutip penasultra.id.

 

Menurut sumber fokusehatnews, pasien yang ditangani dokter Sjarif semua dibuat jadwal di atas pukul 16. Padahal, semestinya, seperti di RS mana pun, jadwal kerja dokter mulai dari pagi. Pelayanan inilah yang dirasa masyarakat mengganggu atau bisa dikatakan “tidak normal.” [fse]

sumber: https://penasultra.id/sjarif-subijakto-plt-dirut-rs-jantung-palayanan-pasien-di-bahteramas-terganggu/

 

 

POST TAGS: