Bogor – Sejumlah vendor yang selama ini menyuplai dan menyediakan kebutuhan RSUD Ciawi, Kabupaten Bogor, mengeluh keterlambatan pembayaran dari rumah sakit pemerintah iniu. Mareka menyesalkan plt Dirut RSUD Ciawi dr. Yuke Meistisia A. Satoto tidak membereskan masalah ini sebelum dipindahkan dan memimpin RSUD Cibinong. Yuke beberapa pekan lalu ditunjuk menjadi direktur utama RSUD Cibinong menggantikan Dokter Wahtu Eko Widiharso.

Kepada media ini seorang petugas dari vendor obat-obatan menyatakan ia sudah berkali-kali menagih pembayaran tapi belum juga dibayarkan. “Saya tidak tahu kenapa,” ujarnya. Ia bercerita sejumlah rekan-rekannya juga rajin mengantre ke lantai 2 RSUD Ciawi untuk menagih pembayaran itu. Mereka menagih sejak beberapa waktu lalu.

Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Bogor, Muadz Khalim menegaskan persoalan-persoalan seretnya pembayaran ini adalah tanggung jawab direktur rumah sakit. “Direktur yang tanggung jawab,” katanya.

RSUD Ciawi merupakan salah satu rumah sakit terkemuka di Kabupaten Bogor.  Terletak di jalur Puncak, Ciawi, fasilitas rumah sakit ini terhitung lengkap. Rumah sakit ini misalnya juga melayani pengobatan dan operasi jantung. Fasilitas cath lab, alat operasi jantung RSUD Ciawi cukup canggih dan telah bekerja sama dengan BPJS.

Dari penelusuran media ini ternyata tidak hanya  vendor obat-obatan atau alat kesehatan yang pembayarannya seret, tapi juga berkaitan dengan jantung ini. Beberapa waktu silam media ini juga pernah menulis perihal vendor cath lab yang mengeluh seretnya pembayatan dari RSUD Ciawi berkaitan dengan kerja sama  pengoperasional cath lab. Padahal perusahaan ini, telah menginvestasikan banyak dana, demi membantu RSUD Daerah untuk menjadi salah satu rumah sakit terlengkap di Bogor.

Dihubungi fokussehatnews, seorang manager SMU Healthcare, perusahaan kesehatan yang bekerja sama dengan RSUD Ciawi dalam pelayanan fasilitas cath lab mengaku RSUD Ciawi belum membayar kewajibannya yang jumlanya sekitar Rp 5 miliar. “Ini akumulasi dari dulu,  kami tentu mengharapkan ini diselesaikan,” ujarnya.

Seretnya pembayaran ini, menurut sumber fokussehatnews, tidak lepas dari managemen pengurusan keuangan rumah sakit itu sendiri. Dan itu berarti berada pada pucuk pimpinannya, dalam hal ini tentu saja plt RSUD Ciawi, Dokter Yuke.

Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Bogor, Muadz Khalim menegaskan persoalan-persoalan seretnya pembayaran ini adalah tanggung jawab direktur rumah sakit. “Direktur yang tanggung jawab,” katanya. Wakil rakyat dari PDIP ini berjanji akan meminta penjelasan kasus seretnya pembayaran ini dan meminta data-data terkait  belum dipenuhinya hak-hak para vendor tersebut. “Saya belum punya datanya,” ujarnya.

Humas RSUD Ciawi Hery menyatakan ia tidak tahu perihal kenapa pembayaran itu molor. “Saya tidak tahu soal itu, yang saya tahu kepala pelayanannya  tidak ada,” ujarnya. Ia mengaku Desember ini pensiun. Media ini telah meminta konfirmasi pada dokter Yuke perihal kasus ini, tapi sejauh ini belum ada tanggapan. (kis)

 

 

Jakarta  – Tibanya Cath Lab baru di RSUD Ciawi yang terletak di Jalan Raya Gadog, Ciawi, Kabupaten Bogor telah menuai kontroversi di saat pemerintah sibuk dalam penanganan Covid-19 yang membutuhkan pembelanjaan besar. Saat ini sebenarnya  RSUD Ciawi telah memiliki layanan Cath Lab melalui pihak ke-3 dengan bentuk kerja sama operasional (KSO) dengan alat yang terhitung baru juga. Kerja sama ini tanpa pembiayaan pembeliaan alat yang dibebankan kepada pihak RS.

 

Kepada wartawan, saat ditemui di gedung DPRD Provinsi Jawa Barat, Pimpinan perusahaan KSO SMU Healthcare, Edward, menjelaskan seputar kerjasama dengan pihak RSUD Ciawi.

“Hubungan kami baik kok dengan managemen RS Ciawi. Rata-rata pasien Cath Lab  sampai Oktober sekitar 35 orang.  Khusus November, ada 82 pasien. Kalau kemampuan kapasitas mesin Cath Lab yang ada ini (hasil KSO, red) belum kewalahan karena kapasitas per mesin bulannya di angka 150,” kata Edward. Ketika ditanya terkait kenapa pihak RS membeli alat Cath Lab tambahan dengan merk Philips, Edward engan untuk berkomentar karena menurutnya itu adalah kebijakan internal rumah sakit.

 

Perihal adanya Cath Lab baru pada rumah sakit Ciawi ini, kepada Fokusehatnews, seorang pengamat kesehatan bidang intervensi jantung mengatakan, “tidak perlu ada alat Cath Lab baru kalau masih performa jumlah pasien seperti itu. Tunggu konstan dulu paling tidak mendekati 80% dari kapasitas alat yang ada, baru opsi pengadaan diajukan. Apalagi di RS yang sudah punya,” katanya.  Menurut dia sebaiknya  “titik”  alat Cath Lab baru ada di lokasi yang lain sehingga radius jangkauan bisa semakin besar. “Ini mempermudah pasien ketimbang harus jauh-jauh ke titik yang sama,” katanya.

 

Sebelumnya, Kepala RS Ciawi, Dokter M. Tsani menyatakan sebagai rumah sakit rujukan, kebutuhan Cath Lab ini sudah dilakukan kajian. “Cath Lab ini diperlukan juga untuk pelayanan vascular, pelayanan bedah syaraf, pelayanan urologi, pelayanan manajemen nyeri intervensi dan  pelayanan radiologi intervensi,” katanya. Di luar itu, ujarnya, juga untuk meningkatkan pelayanan cito atau emergensi 24 jam.

 

Pernyataan Tsani sebelumnya ini telah menuai kritik baik akan penggunaan anggaran kesehatan di kabupaten bogor.  Seorang pengamat kesehatan menyatakan bahkan menyatakan,kehadiran alat Cath Lab baru ini bisa menjadi ajang transaksi yang dipertanyakan dan harus diaudit oleh BPK. Ia menyarankan, proses izin Bapeten nya ditangguhkan sampai pemeriksaan selesai atau kebutuhan pasien sudah tidak bisa terlayani. “Sebaiknya alat ini dipindahkan ke RS lain di kabupaten yang sama, namun yang telah mencapai tahap kesulitan dalam memenuhi pelayanan,”  ujarnya.

 

Anggota DPRD Kabupaten Bogor yang juga Ketua  Komisi IV, Muadz Khalim,  menyatakan pihak RS Ciawi sudah memberitahu perihal kehadiran Cath Lab baru dan tujuan alat itu di RS Ciawi. “Sudah saya panggil direkturnya,” kata Khalim, wakil rakyat dari Fraksi PDIP yang dikenal sosok pembela masyarakat kecil ini.

Sebagai catatan Cath Lab baru miliki RS Ciawi ini, menurut pengamat kesehatan tersebut,  menghabiskan dana sekitar Rp 20 miliar. Nilai itu belum termasuk biaya renovasi dan persiapan lainnya. “Biaya servis kontrak setelah garansi habis, per tahunnya bisa mencapai 10% harga dari alat. Karena itu, pembelian alat ini dinilai sebenarnya masih tak diperlukan,”  kata pengamat kesehatan tersebut .[]