Tidak semua penyakit ditanggung BPJS Kesehatan. Berdasar Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan berikut sejumlah penyakit yang tidak ditanggung.

  1. Penyakit yang berupa wabah atau kejadian luar biasa.
  2. Perawatan yang berhubungan dengan kecantikan dan estetika, operasi plastic, misalnya.
  3. Perawatan gigi seperti pemasangan kawat gigi.
  4. Penyakit akibat tindak pidana, seperti penganiayaan, kekerasan seksual.
  5. Cidera akibat sengaja menyakiti diri sendiri atau usaha bunuh diri.
  6. Penyakit akibat konsumsi alkohol atau ketergantungan obat.
  7. Pengobatan mandul atau infertilitas.
  8. Cidera akibat kejadian yang tidak bisa dicegah, seperti perkelahian.
  9. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negeri.
  10. Tindakan medis yang dikategorikan sebagai percobaan.
  11. Pengobatan komplementer, alternatif, dan tradisional yang belum dinyatakan efektif berdasarkan penilaian teknologi kesehatan.
  12. Alat kontrasepsi.
  13. Perbekalan kesehatan rumah tangga.
  14. Pelayanan kesehatan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terdiri dari rujukan atas permintaan sendiri dan pelayanan kesehatan lain yang tidak sesuai peraturan perundang-undangan.
  15. Pelayanan kesehatan pada  fasilitas kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan (kecuali kondisi darurat).
  16. Pelayanan kesehatan terhadap penyakit atau cidera akibat kecelakaan kerja atau hubungan kerja yang telah dijamin oleh program jaminan kecelakaan kerja atau menjadi tanggungan pemberi kerja,
  17. Pelayanan kesehatan yang dijamin oleh program jaminan kecelakaan lalu lintas yang bersifat wajib sampai nilai yang ditanggung oleh program jaminan kecelakaan lalu lintas sesuai hak kelas rawat peserta.
  18. Pelayanan kesehatan tertentu yang berkaitan dengan Kementerian Pertahanan, TNI, dan Polri.
  19. Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dalam rangka bakti sosial.
  20. Pelayanan yang sudah ditanggung dalam program lain.
  21. Pelayanan lainnya yang tidak ada hubungan dengan manfaat jaminan kesehatan yang diberikan. []

 

 

Oleh: Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch

 

Peristiwa meninggalnya seorang warga yang sedang mengurus e-KTP untuk mendaftar menjadi peserta Program JKN dalam posisi sakit kritis akibat penyumbatan usus, menjadi berita viral saat ini. Almarhum yang seharusnya masih dirawat, diperbolehkan pulang dengan alasan biaya perawatan.

 

Almarhum sebelumnya merupakan pasien umum di RSUD Sultan Daeng Raja Bulukumba, dan atas rencana operasi yang disampaikan dokter maka almarhum mengurus e-KTP agar bisa mendaftar program JKN sehingga biaya perawatan dan operasinya dapat dijamin JKN.

 

Kejadian ini sangat kita sesalkan bersama, seharusnya almarhum masih dalam proses perawatan karena kondisinya pada saat itu masih sakit dan belum layak pulang. Merujuk pada UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU RS), dengan sangat jelas pada Pasal 29 huruf (k) diamanatkan RS wajib menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta peraturan perundang-undangan.

 

Hal ini pun diperkuat Pasal 51 huruf (a) UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran), yaitu dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.

Pasal 2 UU RS dengan sangat jelas menyatakan RS diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai-nilai antara lain kemanusiaan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial.

 

Tentunya seluruh tenaga medis mengetahui standar profesi dan etika, sehingga permintaan pulang seharusnya ditolak karena dokter tahu kondisi almarhum pada saat akan pulang. Keselamatan jiwa pasien saat itu seharusnya menjadi perhatian khusus RS.

 

Bila memang almarhum meminta pulang karena alasan pembiayaan di RS terkait dengan rencana operasi, Pasal 29 huruf (e) UU RS pun mengamanatkan RS wajib menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin. RS harus menjalankan fungsi sosial sesuai amanat Pasal 2, yaitu membantu pembiayaan kesehatan masyarakat miskin seperti almarhum.

 

Namun, sepertinya RS tidak menjalankan kewajiban, asas serta nilai-nilai yang dimanatkan UU RS, malah mendorong almarhum untuk mendaftarkan diri ke Progarm JKN agar pembiayaan kesehatannya dijamin JKN.

 

Kasus ini harus diusut secara tuntas, untuk memastikan kejadian seperti ini tidak terjadi lagi. Pasal 54 UU RS memerintahkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap RS. Pembinaan dan pengawasan diarahkan, salah satunya, untuk pemenuhan kebutuhan pelayanan Kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat, dan keselamatan pasien. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan tersebut Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat mengambil tindakan administratif berupa teguran, teguran tertulis, dan/atau denda dan pencabutan izin kepada RS tersebut.

 

Terkait dengan keputusan dokter yang diduga memberikan ijin pasien pulang dalam kondisi belum layak pulang, dokter dapat dikenakan sanksi di Pasal 79 huruf ( c ) UU Praktik Kedokteran yaitu pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).

 

Usulan Perbaikan di Program JKN

Tentunya dalam kasus ini, persoalan tidak bisa dilepaskan dari peran penting Program JKN. Sejak hadirnya Program JKN, masyarakat umum mengandalkan program JKN untuk menjamin biaya pengobatan mereka ketika sakit. Oleh karena itu, kasus yang terjadi di Sulawesi Selatan ini dapat dimaknai sebagai sebuah pelajaran dan sebagai momentum untuk perbaikan layanan program JKN.

 

Sebagai sebuah pelajaran, tentunya kasus ini mengajak seluruh rakyat Indonesia memastikan diri sudah terdaftar sebagai peserta JKN, sehingga kapan pun penyakit datang, seluruh masyarakat Indonesia bisa dijamin JKN.

 

Bagi masyarakat yang tidak mampu segera mendaftarkan diri ke Dinas Sosial untuk diikutkan sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang iurannya dibayarkan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. Dan bagi masyarakat mampu, segeralah menjadi peserta JKN. Walaupun sudah memiliki asuransi Kesehatan swasta tetapi sangat penting menjadi peserta JKN mengingat manfaat JKN tidak dibatasi oleh biaya.

 

Tentunya, kasus ini pun harus menjadi perhatian bagi Kementerian Sosial (Kemensos) dan dinas sosial (dinsos) ketika melakukan cleansing data PBI. Selama ini, salah satu alasan menonaktifkan masyarakat miskin dari kepesertaan PBI adalah karena NIK (Nomor Induk Kependudukan) belum padan. Bila memang ada masalah dengan NIK, Kemensos dan dinsos harus berkoordinasi dengan Dukcapil dan peserta tersebut sehingga NIK-nya diperbaiki, tanpa dinonaktifkan.

 

Saya mengajak seluruh peserta PBI untuk mengecek kepesertaannya di JKN selagi masih sehat. Bila sudah dinonaktifkan segeralah urus kembali, agar bisa digunakan ketika sakit.

 

Perbaikan regulasi JKN yang diharapkan dari kasus ini adalah diperbolehkannya perubahan penjaminan pada saat perawatan. Ada peserta JKN yang mengalami kesulitan mengakses pelayanan JKN atau karena menggunakan asuransi Kesehatan swasta, masuk perawatan dengan status pasien umum, namun karena biaya semakin besar atau asuransi tidak lagi menjamin, pasien ingin menggunakan JKN tapi tidak bisa berlanjut saat perawatan. Harus pulang dulu dan berproses dari awal untuk penjaminan JKN.

 

Saya berharap Pemerintah dapat merevisi regulasinya sehingga peserta JKN bisa menggunakan penjaminan JKN tanpa harus pulang terlebih dahulu dan memproses penjaminan dari awal. Perbaikan regulasi ini untuk memastikan tidak ada lagi pasien yang belum layak pulang meminta pulang hanya karena ingin dijamin oleh JKN.

 

Semoga di tahun kesembilan pelaksanaan program JKN ini semakin banyak masyarakt kita yang terdaftar aktif di JKN, dan pelayanan JKN semakin mudah diakses masyarakat, dan kasus yang menimpa saudara kita di Bulukumba tidak terjadi lagi.

Pinang Ranti, 21 Maret 2022

 

 

Oleh: Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch

 

Penetapan Indonesia sebagai Presiden G20 untuk tahun 2022 dilakukan saat KTT G20 ke-15 di Riyadh, Arab Saudi pada 22 November 2020 lalu. Presidensi G20 adalah posisi di mana sebuah negara menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan G20. Ini menjadi kebanggaan bangsa kita. Tema yang diusung adalah Recover Together, Recover Stronger. Dengan tema ini diharapkan semua rakyat Indonesia, khususnya, bisa pulih bersama-sama dan menjadi lebih kuat.

 

Tema ini diharapkan terimplementasi dengan baik, untuk seluruh rakyat Indonesia. Tidak ada yang tertinggal dibelakang dalam proses pemulihan dan proses menjadi lebih kuat. Jamina sosial adalah satu satu instrument yang dapat mendorong seluruh rakyat bersama-sama pulih dan menjadi lebih kuat.

 

Presiden seharusnya mengimplementasikan kata “together” dan “stronger” untuk seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk segmen rakyat tertentu saja,

 

Namun tema tersebut tidak selaras dengan kebijakan Pemerintah di bidang jaminan sosial, khususnya jaminan sosial bagi rakyat miskin. Per 15 Nopember lalu jumlah orang miskin di Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai peserta PBI sebanyak 84 juta, menyusut sekitar 12 juta orang dibandingkan kepesertaan di awal Januari 2021 lalu, yang waktu itu berjumlah 96.1 juta orang. Rakyat miskin dengan sepihak dikeluarkan Kementerian Sosial, tanpa verifikasi dan tanpa membangun komunikasi dengan rakyat miskin tersebut.

 

Demikian juga pekerja miskin masih belum mendapat program jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) di BPJS ketenagakerjaan yang siudah 2 tahun ini dijanjikan Pemerintah. Sampai saat ini Pemerintah belum ada rencana mengalokasikan dana di APBN untuk menjamin pekerja miskin di program JKK dan JKM yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan.

 

Kontras dengan hal ini, Pemerintah justru sudah mengalokasikan dana sekitar Rp. 950 miliar (terberitakan dalam running text sebuah TV nasional) untuk mensubsidi iuran pekerja formal dalam Program jaminan sosial baru yang bernama Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

 

Orang mampu seperti pekerja formal disubsidi dapat JKP sehingga pekerja formal tambah lengkap perlindungan jaminan sosialnya, yaitu dari program JKN, JKK, JKM, Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP) serta akan mendapat JKP (dimulai di bulan Februari 2022 nanti setelah mengiur 12 bulan dari februari 2021), tetapi pekerja miskin hanya untuk mendapatkan JKK JKM saja sulitnya minta ampun.

 

Bagaimana implementasi kata “together” dan “stronger” untuk rakyat miskin, di tengah diskriminasi perlindungan kepada masyarakat miskin khususnya peserta PBI di JKN dan pekerja miskin yang belum mendapat JKK JKM, yang dilakonkan Pemerintah saat ini. Bagaimana rakyat miskin dapat mengakses jaminan pembiayaan Kesehatan ketika sakit namun status kepesertaannya nonaktif di JKN, bagaimana pekerja miskin dapat pengobatan yang layak ketika mengalami kecelakaan kerja yang kerap kali ditolak oleh program JKN?

 

Presiden seharusnya mengimplementasikan kata “together” dan “stronger” untuk seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk segmen rakyat tertentu saja, dan bila mengacu pada Pasal 5 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM justru yang harus mendapatkan perlakuan dan perlindungan lebih dari Pemerintah adalah masyarakat rentan (seperti rakyat miskin, disabilitas, lansia, dsb), yaitu mendapatkan perlindungan berupa jaminan sosial, bukan pekerja mampu atau masyarakat mampu.

 

Jangan sampai si miskin tertinggal dibelakang (“The Poor Left Behind”) dalam arak-arakan presidensi G20 yang sangat bergensi dan menjadi kebanggaan bangsa kita. []

Pinang Ranti, 14 Desember 2021