Oleh: Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch

 

Penetapan Indonesia sebagai Presiden G20 untuk tahun 2022 dilakukan saat KTT G20 ke-15 di Riyadh, Arab Saudi pada 22 November 2020 lalu. Presidensi G20 adalah posisi di mana sebuah negara menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan G20. Ini menjadi kebanggaan bangsa kita. Tema yang diusung adalah Recover Together, Recover Stronger. Dengan tema ini diharapkan semua rakyat Indonesia, khususnya, bisa pulih bersama-sama dan menjadi lebih kuat.

 

Tema ini diharapkan terimplementasi dengan baik, untuk seluruh rakyat Indonesia. Tidak ada yang tertinggal dibelakang dalam proses pemulihan dan proses menjadi lebih kuat. Jamina sosial adalah satu satu instrument yang dapat mendorong seluruh rakyat bersama-sama pulih dan menjadi lebih kuat.

 

Presiden seharusnya mengimplementasikan kata “together” dan “stronger” untuk seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk segmen rakyat tertentu saja,

 

Namun tema tersebut tidak selaras dengan kebijakan Pemerintah di bidang jaminan sosial, khususnya jaminan sosial bagi rakyat miskin. Per 15 Nopember lalu jumlah orang miskin di Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai peserta PBI sebanyak 84 juta, menyusut sekitar 12 juta orang dibandingkan kepesertaan di awal Januari 2021 lalu, yang waktu itu berjumlah 96.1 juta orang. Rakyat miskin dengan sepihak dikeluarkan Kementerian Sosial, tanpa verifikasi dan tanpa membangun komunikasi dengan rakyat miskin tersebut.

 

Demikian juga pekerja miskin masih belum mendapat program jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) di BPJS ketenagakerjaan yang siudah 2 tahun ini dijanjikan Pemerintah. Sampai saat ini Pemerintah belum ada rencana mengalokasikan dana di APBN untuk menjamin pekerja miskin di program JKK dan JKM yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan.

 

Kontras dengan hal ini, Pemerintah justru sudah mengalokasikan dana sekitar Rp. 950 miliar (terberitakan dalam running text sebuah TV nasional) untuk mensubsidi iuran pekerja formal dalam Program jaminan sosial baru yang bernama Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

 

Orang mampu seperti pekerja formal disubsidi dapat JKP sehingga pekerja formal tambah lengkap perlindungan jaminan sosialnya, yaitu dari program JKN, JKK, JKM, Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP) serta akan mendapat JKP (dimulai di bulan Februari 2022 nanti setelah mengiur 12 bulan dari februari 2021), tetapi pekerja miskin hanya untuk mendapatkan JKK JKM saja sulitnya minta ampun.

 

Bagaimana implementasi kata “together” dan “stronger” untuk rakyat miskin, di tengah diskriminasi perlindungan kepada masyarakat miskin khususnya peserta PBI di JKN dan pekerja miskin yang belum mendapat JKK JKM, yang dilakonkan Pemerintah saat ini. Bagaimana rakyat miskin dapat mengakses jaminan pembiayaan Kesehatan ketika sakit namun status kepesertaannya nonaktif di JKN, bagaimana pekerja miskin dapat pengobatan yang layak ketika mengalami kecelakaan kerja yang kerap kali ditolak oleh program JKN?

 

Presiden seharusnya mengimplementasikan kata “together” dan “stronger” untuk seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk segmen rakyat tertentu saja, dan bila mengacu pada Pasal 5 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM justru yang harus mendapatkan perlakuan dan perlindungan lebih dari Pemerintah adalah masyarakat rentan (seperti rakyat miskin, disabilitas, lansia, dsb), yaitu mendapatkan perlindungan berupa jaminan sosial, bukan pekerja mampu atau masyarakat mampu.

 

Jangan sampai si miskin tertinggal dibelakang (“The Poor Left Behind”) dalam arak-arakan presidensi G20 yang sangat bergensi dan menjadi kebanggaan bangsa kita. []

Pinang Ranti, 14 Desember 2021

 

BPJS WATCH mendesak dan meminta Menteri Sosial segera mencabut Kepmensos no. 92 Tahun 2021 ini dan mematuhi regulasi yang ada berdasarkan pendataan yang benar dan data yang obyektif.

 

Pernyataan BPJS Watch yang diketuai Timboel Siregar itu berlatar belakang sebagai berikut:

Menteri Sosial Ibu Tri Rismaharini pada tanggal 15 September 2021 lalu telah mengeluarkan Keputusan Menteri Sosial (Kepmensos) No. 92/HUK/2021 Tentang Penetapan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Tahun 2021. Dalam Diktum Kesatu, surat keputusan tersebut, menyatakan Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan merupakan data fakir miskin dan orang tidak mampu berdasarkan : (a). data terpatu kesejahteraan sosial sebanyak 74.420.345 jiwa, (b). data yang telah dilakukan perbaikan dengan menggunakan Nomor Induk Kependudukan sebanyak sebanyak 12.633.338 jiwa.

 

Pada Diktum Kedua menyatakan Data yang telah dilakukan perbaikan dengan menggunakan Nomor Induk Kependudukan sebagai mana dimaksud dalam Diktum Kesatu huruf (b) harus dilakukan verifikasi kelayakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota paling lama 2 bulan sejak penetapan.

 

Pada Diktum Keempat dinyatakan, sejak Kepmensos No. 92 Tahun 2021 ini berlaku maka Kepmensos no. 1 Tahun 2021 yang menetapkan kuota PBI APBN sebanyak 96,8 juta jiwa dinyatakan tidak berlaku lagi. Kepmensos No. 92 Tahun 2021 ini berlaku sejak ditandatangani yaitu 15 September 2021.

 

Menurut BPJS Watch, jumlah peserta PBI per 1 September 2021 sebanyak 96,1 juta jiwa, dari kuota PBI yang dibiayai APBN sebanyak 96,8 juta jiwa sebagaimana diatur dalam Kepmensos No. 1 Tahun 2021. Proses pembersihan data (cleansing data) adalah hal biasa dilakukan oleh Kementerian Sosial dengan mengacu pada PP No. 76 Tahun 2015, yaitu ada yang dikeluarkan dan ada yang didaftarkan baru. Namun sejak awal tahun 2021 ini hingga saat ini, proses cleansing data tidak dilakukan pada dua sisi yaitu mengeluarkan dan mendaftarkan peserta baru di PBI. Yang ada hanya mengeluarkan masyarakat miskin sebagai peserta PBI, tanpa menambah lagi. Padahal angka kemiskinan di Indonesia meningkat.

 

Dengan ketentuan dalam Diktum Pertama, Kedua dan Keempat ini maka sejak tanggal 15 September 2021 peserta PBI berjumlah 87.053.683 (= 74.420.345 + 12.633.338). Ini artinya akan ada sekitar 9 juta (= 96,1 juta – 87.053.683) peserta PBI eksisting yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah cq. Kemensos dari master file kepesertaan di BPJS Kesehatan. Bila dikeluarkan maka kepesertaan mereka akan non-aktif dan mereka tidak bisa lagi mendapat penjaminan dari program JKN.

Menurut Timboel Siregar, dalam prosesnya, sesuai Diktum Kedua Kepmensos 92/2021, peserta PBI saat ini sebanyak 12.633.338 jiwa akan dilakukan verifikasi kelayakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota paling lama 2 bulan sejak 15 September 2021, dan hal ini berpotensi lagi akan menambah jumlah orang miskin yang dikeluarkan dari program JKN.

 

Karena itu, dengan kehadiran Kepmensos no. 92 Tahun 2021 ini maka BPJS WATCH menyatakan:
1. Menolak kehadiran Kepmensos No. 92 Tahun 2021 ini yang mengeluarkan dengan sangat besar jumlah orang miskin, sekitar 9 juta dari program JKN. Belum lagi nanti hasil verifikasi 12.633.338 jiwa oleh Pemda yang akan menurunkan kepesertaan orang miskin di Program JKN.

 

Bahwa Kesehatan adalah hak dasar masyarakat yang wajib dijamin oleh Pemerintah. Bila banyak rakyat miskin dikeluarkan dari program JKN maka akan semakin banyak rakyat Indonesia yang termarjinalkan dalam pelayanan Kesehatan. Rakyat miskin akan sangat sulit mendapatkan pelayanan Kesehatan karena tidak lagi dijamin pembiayaannya oleh JKN. Ini ketidakadilan bagi rakyat miskin.

 

Dengan kondisi pandemi Covid19 saat ini dengan tingkat kemiskinan meningkat, kehadiran Kepmensos no. 92 ini merupakan bukti ketidakpekaan Pemerintah terhadap orang miskin. Dengan kondisi pandemi ini seharusnya peserta PBI dinaikkan jumlahya dengan mengacu pada RPJMN yaitu menjadi 107 juta jiwa.

2. Kepmensos no. 92 Tahun 2021 ini bertentangan dengan ketentuan UUD 1945 dan regulasi lainnya.

Kepmensos 92 ini bertentangan dengan Pasal 28H ayat (3) UU 1945. Pemerintah harus mematuhi ketentuan Pasal 28H ayat (3) yang menjamin “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat,” ujar Timboel dalam siaran pers-nya.

 

Demikian juga kepmensos ini bertentangan dengan Pasal 14 UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN yang mengamanatkan Pemerintah mendaftarkan dan membayarkan iuran masyarakat miskin ke BPJS Kesehatan.

 

Bahwa Kepmensos no. 92 Tahun 2021 ini juga bertentangan dengan Pasal 11 PP No. 76 Tahun 2015 yang mengamanatkan perubahan data PBI dilakukan dengan penghapusan, penggantian, atau penambahan. Kebijakan Kemensos selama 2021 ini dan hadirnya Kepmensos No. 92 ini hanya menghapus tanpa memberikan ruang penggantian dan penambahan.

 

Oleh karenanya kami meminta Menteri Sosial mematuhi semua ketentuan di atas. Lakukan perubahan data dengan memastikan ada proses penghapusan, penggantian dan penambahan berdasarkan pendataan secara obyektif. Selama ini kami menilai proses pendataan orang miskin belum dilakukan secara obyektif sehingga masih ada orang miskin yang tidak terdaftar sebagai peserta JKN.

3. Bahwa Kepmensos no. 92 Tahun 2021 ini tidak didasarkan pada data-data obyektif berdasarkan proses pendataan yang benar di lapangan. Apa benar 9 jutaan masyarakat miskin yang akan dikeluarkan dari master file BPJS Kesehatan adalah orang-orang yang sudah mampu dan tidak layak lagi dapat PBI? Menurut saya ini tidak benar, apalagi dalam kondisi pandemi Covid 19 saat ini dan ekonomi belum pulih.

Oleh karenanya, menurut Timboel pihaknya  mendesak Menteri Sosial dan dinas-dinas sosial Pemda segera memperbaiki proses pendataan masyarakat miskin sehingga benar-benar mendapatkan data orang miskin yang obyektif, dan Kemensos melakukan perubahan data PBI dengan mengacu pada PP No. 76 Tahun 2015 sehingga perubahan peserta PBI benar-benar tidak menghilangkan hak konstitusional orang miskin mendapatkan pelayanan JKN. []

 

POST TAGS: