Jakarta – BPOM bersama Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Bandara Internasional Soekarno Hatta menggagalkan ekspor 430 karton obat tradisional (OT) tanpa izin edar (TIE) yang mengandung bahan kimia obat (BKO) ke Uzbekistan pada Kamis (31/07/2023). Produk tersebut terdiri dari 200 Karton @100 pieces Montalin, 50 Karton @200 pieces Tawon Liar, 30 Karton @48 pieces Gingseng Kianpi Pil, dan 150 Karton @30 pieces Samyunwan dengan total nilai keekonomian Rp4 miliar.
Kepala BPOM RI, Penny K. Lukito menyatakan, pemberantasan OT BKO tengah menjadi salah satu fokus BPOM. Temuan OT BKO sangat memprihatinkan karena dapat membahayakan kesehatan. “Penambahan BKO pada obat tradisional dalam jangka panjang sangat berbahaya karena dapat mengakibatkan adanya efek yang tidak diinginkan, berupa penyakit seperti kerusakan hati, jantung coroner, dan gagal ginjal,” ujar Kepala BPOM dalam Konferensi Pers di Terminal Kargo Bandara Internasional Soekarno Hatta, Rabu, 9 Agustus lalu.
Produk yang ditegah tersebut sebelumnya akan diekspor oleh CV Panca Andri Perkasa yang beralamat di Neglasari, Tangerang. Pada dokumen pemberitahuan ekspor barang (PEB), produk tersebut diklaim sebagai nutrition supplement dengan tujuan ekspor Uzbekistan dan akan digunakan sebagai pereda nyeri, pegal linu, dan penggemuk badan. Pelaku telah berulang kali mengekspor dengan modus menggunakan nomor izin edar dan harmonized system code (HS Code) fiktif produk yang terdaftar.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani, menjelaskan pihaknya mendapat laporan dari BPOM pada 28 Juli 2023 bahwa ada pengiriman obat tradisional ilegal berbahaya menuju Uzbekistan. “Dari masukan itu, kemudian kami lakukan pengawasan salah satu perusahaan yang melakukan eksportasi dan kami bisa tegah, untuk selanjutnya diserahkan ke BPOM, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung untuk proses hukum,” jelasnya.
Diketahui, produk tersebut termasuk dalam daftar public warning BPOM karena mengandung BKO parasetamol, natrium diklofenak, kafein, dan siproheptadin. Penambahan BKO parasetamol pada obat tradisional dalam jangka panjang dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan, osteoporosis, gangguan hormon, hepatitis, gagal ginjal, dan kerusakan hati.
Sementara, BKO natrium diklofenak dapat menyebabkan mual, diare, dispepsia, reaksi hipersensitivitas, sakit kepala, pusing, vertigo, gangguan pendengaran dan gangguan pada darah. Penambahan kafein dalam OT dapat menyebabkan mual, muntah, sakit perut, insomnia, dehidrasi, sakit kepala, pusing, dan detak jantung tidak normal. Sedangkan BKO siproheptadin dapat menyebabkan pusing, penglihatan kabur, sembelit, mulut kering, halusinasi, jantung berdebar, dan kejang-kejang.
Menindaklanjuti temuan tersebut, pada 2 Agustus 2023, BPOM melakukan operasi penindakan sebagai pengembangan kasus ke sarana lainnya yaitu ruko JNE, ruko samping ekspedisi di Depok, dan JNT Serpong. Pada penindakan tersebut ditemukan produk Montalin (1.140.000 kapsul), Ginseng Kianpi Hijau (884.280 kapsul), Ginseng Kianpi Gold (196.440 kapsul), Samyunwan (432.000 kapsul), dan Tawon Liar (872.000 kapsul), sehingga total keseluruhan barang bukti sebanyak 3.524.810 kapsul dengan nilai ekonomi Rp14,1 miliar.
BPOM berkomitmen untuk terus meningkatkan pengawasan dan penindakan berkolaborasi dengan pemangku kepentingan lain seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan kementerian lainnya. “Saya kira ini menjadi penting sebagai informasi dan kewaspadaan kita semua. Ke depan, BPOM terus bekerja sama dengan penegak hukum dan Bea Cukai di setiap titik pelabuhan udara dan laut, sehingga tidak ada lagi ekspor impor OT BKO,” katanya.
Selain itu, BPOM juga melakukan pemberdayaan bagi pelaku usaha agar memenuhi ketentuan perundang-undangan, baik melalui pendampingan/pembinaan maupun fasilitasi kemudahan berusaha. BPOM mengimbau masyarakat agar berhati-hati memilih jamu dengan klaim yang bisa mengobati, tapi sebetulnya mengandung BKO. “Bisa dilihat di aplikasi BPOM Mobile apakah izin edar tersebut asli atau palsu, dan produk tesebut apakah masuk public warning BPOM, yang artinya produk ilegal berbahaya,” ujar Kepala BPOM. (sumber: BPOM)