Jakarta – Resistansi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR) adalah kondisi di mana mikroorganisme mampu bertahan terhadap dosis terapi senyawa antimikroba. Akibatnya, mikroorganisme tersebut tetap dapat berkembang, sehingga mengurangi keampuhan obat, meningkatkan risiko penyebaran penyakit, memperparah kondisi pasien, dan bahkan menyebabkan kematian pada manusia, hewan, ikan, dan tumbuhan.
AMR merupakan tantangan besar dalam dunia kesehatan. Pada 2019, diperkirakan hampir 5 juta kematian dikaitkan dengan AMR, termasuk 1,27 juta kematian secara langsung disebabkan oleh AMR. AMR menimbulkan ancaman terhadap kesehatan global, ketahanan pangan, serta pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030.
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan dr. Azhar Jaya mengatakan, AMR merupakan masalah serius pada fasilitas kesehatan di Indonesia. Ancaman resistansi antimikroba merupakan ancaman kesehatan global yang semakin nyata dan mendesak. “Kemampuan mikroorganisme untuk bertahan terhadap antimikroba seperti antibiotik menyebabkan peningkatan morbiditas, mortalitas, dan pembiayaan kesehatan secara signifikan,” kata dr. Azhar Jaya dalam Seminar Sehari bertema “Collaborative and Participatory Action in Tackling AMR” dan Pekan Kesadaran Resistansi Antimikroba (WAAW) di Auditorium Siwabessy pada Kamis (21/11/2024).
Menurut Azhar Jaya, beberapa hal penting dalam pengendalian resistansi AMR, di antaranya penguatan sistem surveilans AMR, pengendalian penggunaan antimikroba, pencegahan dan pengendalian infeksi, edukasi dan promosi kesehatan, serta diperlukannya inovasi dan penelitian. “Pengendalian AMR harus dilaksanakan bersama dan bersatu padu, mulai dari pemerintah, tenaga kesehatan, akademisi, industri farmasi, dan masyarakat, memiliki peran penting dalam pengendalian AMR,” tambahnya.
dr. Azhar Jaya berharap seminar yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) ini dapat menghasilkan rekomendasi dan aksi nyata yang berkontribusi dalam pengendalian resistansi AMR di Indonesia.
AMR membebani sistem kesehatan dengan mengurangi efektivitas pengobatan, yang menyebabkan peningkatan waktu rawat pasien dan peningkatan biaya perawatan kesehatan, peningkatan morbiditas dan mortalitas, sehingga mutu dan keselamatan pasien menurun.
Di Indonesia, kejadian resistansi yang terus meningkar adalah tuberkulosis resistansi obat, dengan angka kematian 4-5 kali lebih tinggi dibandingkan kasus tuberkulosis sensitif obat. Resistansi obat juga terjadi kepada hewan, yaitu ayam, babi, dan sapi yang membutuhkan pengawasan.
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Dr. L Rizka Andalucia, Apt menjelaskan Indonesia masih memiliki tantangan berat karena sebanyak 22,1% masyarakat menggunakan antibiotik oral yang sangat mudah didapatkan, baik itu bentuknya tablet atau sirup yang akan diberikan pada anak-anak. Dari angka itu, sebanyak 41% diantaranya memperoleh antibiotik tanpa resep.
Mengenai peredaran antimikroba, Rizka menyampaikan bahwa berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia, dari masyarakat yang menggunakan antibiotik oral dalam 1 tahun terakhir 41% diantaranya memperoleh antibiotik tanpa resep, termasuk dari apotek. “Hal ini merupakan tantangan Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan untuk menertibkan pendistribusian antimikroba di sarana pelayanan kesehatan, khususnya di apotek,” ujar Rizka.
Rizka menambahkan, kondisi ini diperparah dengan adanya sebagian masyarakat memperoleh antibiotik bukan dari sarana pelayanan kesehatan, seperti dari warung, platform daring, atau tempat-tempat lain yang tidak sesuai. Untuk itu, pemerintah membutuhkan dukungan berbagai pihak dalam pengawasan distribusi antimikroba di masyarakat. (kemenkes)